A.
Pendahuluan
Peradaban manusia tidak lepas dari
pergumulan antara berbagai nilai, termasuk nilai sains dan agama. Setiap ada
penemuan baru dalam sains, selalu menimbulkan gejolak tertentu karena
belum memiliki perangkat baru untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sedangkan perangkat dan nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara nilai baru dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi sekaligus kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.[1]
belum memiliki perangkat baru untuk menyesuaikan diri dengan penemuan tersebut, sedangkan perangkat dan nilai-nilai lama belum siap untuk berubah. Benturan antara nilai baru dengan nilai-nilai lama tidak saja menimbulkan gejolak, tetapi sekaligus kebingungan dan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan.[1]
Wacana “Sains dan Islam” atau
“Sains dan Kristen” jelas sudah hidup cukup lama. Pertanyaannya disini adalah mengenai
adanya klaim telah wujudnya suatu bidang kajian bernama “sains dan agama” yang
bersifat internasional, antarbudaya, antaragama, dan antradisiplin.[2] Beberapa
dekade yang lalu terdapat gagasan yang populer bahwa sains adalah satu-satunya
jalan menuju kebenaran. Sumber lain dari kebenaran, khususnya keyakinan agama,
dikatakan menjadi ketinggalan zaman.[3]
Setelah melewati periode pandangan
pesimistik dan perspektif-perspektif sains dan agama di lingkaran akademik pada
paruh pertama abad ke-20, dewasa ini, kecenderungan-kecenderungan religius
mulai tampak pada sejumlah ilmuwan.[4]
Dalam sejarah yunani, kehadiran
pemikiran filsafat –sebagai induk dari ilmu sains modern– telah menimbulkan gejolak
dalam diri manusia karena penemuan filsafat bertentangan dengan sistem
kepercayaan dan mitos pada waktu itu. Benturan semacam ini tidak saja terjadi
di Yunani, tetapi juga di wilayah lain yang mengalami penemuan-penemuan baru,
terutama dalam bidang sains. Namun ada juga benturan yang tidak terlalu tajam,
seperti pada masa-masa awal Islam (abad kedua dan ketiga Hijriah).[5]
Gejolak antara sains dan agama
kemudian terjadi lagi pada era renaissans. Gereja pada abad pertengahan sangat
berkuasa dan dominan, tidak saja dalam lapangan agama, tetapi juga dalam
lapangan ilmiah. Tradisi ilmiah yang sebenarnya tidak baku dan statis menjadi
sacral dan tidak boleh diubah.[6]
Kemudian seiring kemajuan sains dan
teknologi di Barat, nilai-nilai agama secara berangsur-angsur bergeser bahkan
berseberangan dengan sains. Bagi kalangan ilmuwan di Barat, agama adalah
penghalang kemajuan. Karena itu, mereka beranggapan, jika ingin maju, agama
tidak boleh lagi mengurusi masalah-masalah yang berkaitan dengan dunia, seperti
politik dan sains. Namun di samping nada pesimistik terhadap agama, masih ada
nada optimis yang dikeluarkan oleh beberapa tokoh.[7]
Pada akhir abad ke-20 terdapat
beberapa penemuan yang spektakuler. Agama dan sains menghadapi persoalan yang
cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi yang demikian. Satu sisi sains di
Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama, sehingga yang
terjadi adalah sains yang sekuler. Di sisi lain, di Timur masyarakatnya taat
beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk ‘sekularisasi’ juga
dalam umat beragama.[8]
Agama, sebagaimana dinyatakan oleh Naisbit, akan bangkit pada abad 21. Namun,
kebangkitan agama tidak dalam bentuk formal, tetapi semacam kesadaran atau
kebutuhan akan suatu spiritualitas.[9]
Pada tahun 1965, terbit satu
publikasi bahwa Max Planck, penerima hadiah Nobel pada tahun 1918 dalam bidang
fisika juga penemu teori kuantum, mengatakan demikian,
“Pada kurun waktu terakhir ini banyak ahli ilmu
alam termasyhur dan beberapa ahli biologi terkenal telah menyatakan dengan
tegasa bahwa kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan dalam masa terakhir ini telah
menyangkal sahnya materialism, yang lazim dianut sebelumnya, dan telah membawa
kepada sahnya kebenaran dari agama”.[10]
Tidak hanya Planck, akan tetapi
juga rentetan ilmuwan dari para saintis, filsuf dan teolog telah dicatat oleh
Leahy[11] karena
menyampaikan kesaksian yang positif mengenai interaksi antara sains dan dimensi
religiusitas. Kritik lain tentang sains muncul dengan publikasi buku tahun 1970
oleh ahli sejarah Thomas Kuhn, The Structure of Scientific Revolution.[12]
Sains dan agama, nampaknya sekarang
menjadi berhadapan untuk bekerjasama dalam abad ke-21 ini. Hal ini terlihat
pada beberapa buku yang diterbitkan pada akhir dekade ini: Dapatkah Saintis
Percaya? Karya Nevill Mott, Pikiran Tuhan karya Paul Devis, dan Ilmu
tentang Tuhan karya Gerald Schroeder. Karya-karya tersebut merupakan karya
akademik terkemuka. Selalu terdapat ilmuwan yang juga menjadi agamawan yang
kuat misalnya Isaac Newton, Michael Faraday, dan James Clerk Maxwell.[13]
Albert Einstein, ilmuwan terbesar
abad ini, menulis pada tahun 1942: “Agama tanpa sains adalah buta, sains tanpa
agama adalah pincang”. Sekitar dua puluh tahun sebelumnya seorang ilmuwan besar
lainnya, William Bragg, berkata “Kadang-kadang seseorang bertanya jika agama
dan sains tidak berlawanan satu dengan lainnya. Maksudnya seperti ibu jari dan
jari-jari tangan saya yang berbeda satu dengan lainnya. Perbedaan ini dalam
arti dimana segalanya dapat digenggam”.[14]
B.
Definisi Ilmu Pengetahuan dan Agama
- Definisi
Ilmu Pengetahuan
Dalam penggunaan sehari-hari orang cukup hanya
menyebut ilmu saja untuk maksud ilmu pengetahuan. Ilmu artinya pengetahuan yang
ilmiah. Oleh karena itu, Mohammad Hatta menyebut ilmu dan pengetahuan
menggunakan dengan sebutan pengetahuan, karena bagi Hatta antara ilmu dan
pengetahuan adalah sama-sama sebagai pengetahuan. Menurutnya ilmu adalah
pengetahuan yang didapat dengan jalan keterangan.[15]
Kata ilmu dalam bahasa Arab "ilm"[16] yang
berarti memahami, mengerti, atau mengetahui. Dalam kaitan penyerapan katanya,
ilmu pengetahuan dapat berarti memahami suatu pengetahuan, dan ilmu sosial
dapat berarti mengetahui masalah-masalah sosial, dan sebagainya.
Menurut Endang Saifuddin Anshari, ilmu
pengetahuan atau ilmu adalah usaha pemahaman manusia mengenai kagiatan,
struktur, pembagian, hukum tentang hal ihwal yang diselidiki melalui
penginderaan dan dibuktikan kebenarannya melalui riset.[17]
Poedjawiyatna yang dikutip oleh Hamzah Abbas
memberikan batasan pengertian tentang ilmu sebagai berikut: ilmu adalah
pengetahuan yang sadar menuntut kebenaran kebenaran yang bermetode, bersistem,
dan berlaku universal.[18]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa ilmu
pengetahuan adalah suatu bidang yang disusun secara sistematis menurut
metode-metode tertentu yang dapat dipergunakan untuk menerangkan gejala-gejala
tertentu di bidang (pengetahuan) itu.[19]
Menurut C.A. van Peursen, Ilmu (atau ilmu pengetahuan) adalah seluruh
usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia
dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar
dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan
membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari
keterbatasannya.[20]
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge),
tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati
dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam
bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena
manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya.
Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi.[21]
Sesuatu dapat dikategorikan menjadi ilmu
pengetahuan adalah karena ada objeknya. Setiap ilmu pengetahuan ditentukan oleh
objeknya. Ada dua macam objek ilmu pengetahuan, yaitu objek materi dan objek
forma. Objek materi ialah sasaran atau bahan yang dijadikan objek penyelidikan
suatu ilmu. Sedangkan objek forma ialah sudut pandang atau cara pandang
mengenai objek materi tersebut, sehingga dengan objek forma ini dapat dibedakan
menjadi ilmu tertentu. Jadi, yang membedakan suatu ilmu dari yang lainnya ialah
objeknya. Sekalipun objek materinya sama, tetapi sudut pandangnya atau objek
formanya berbeda.[22]
Tidak semua masalah yang dipertanyakan manusia
dapat dijawab secara positif oleh ilmu pengetahuan, karena ilmu pengetahuan
terbatas, terutama oleh subjeknya (sang penyelidik), oleh objeknya (baik objek
material maupun objek formalnya) dan juga oleh metodologinya.[23]
Berbeda dengan pengetahuan, ilmu merupakan
pengetahuan khusus tentang apa penyebab sesuatu dan mengapa. Ada persyaratan
ilmiah sesuatu dapat disebut sebagai ilmu.[24]
a.
Objektif. Ilmu harus
memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat
hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat
bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam
mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu
dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif bukan subjektif berdasarkan
subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
b.
Metodis adalah
upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya
penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu
untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani
“Metodos” yang berarti cara atau jalan. Secara umum, metodis berarti metode
tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah.
c.
Sistematis. Dalam
perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus
terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk
suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu, dan mampu
menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang
tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu
yang ketiga.
d.
Universal. Kebenaran
yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak
bersifat tertentu).
- Definisi
Agama
Pengertian agama yang paling umum dipahami
adalah bahwa kata agama berasal dari bahasa Sansekerta berasal dari kata a
dan gama. A berarti tidak dan gama berarti kacau.
Jadi, kata agama diartikan tidak kacau, tidak semrawut, hidup menjadi lurus dan
benar. Pengertian agama menunjuk kepada jalan atau cara yang ditempuh untuk
mencari keridhaan Tuhan. Dalam agama itu ada sesuatu yang dianggap berkuasa,
yaitu Tuhan, zat yang memiliki segala yang ada, yang berkuasa, yang mengatur
seluruh alam beserta isinya.[25]
Agama dapat juga didefinisikan sebagai ‘cara untuk mengarahkan diri manusia
dalam hidupnya’[26] atau sebagai ‘kepedulian
tertinggi (ultimate concern)’.[27]
Dalam Kamus Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa agama
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) kepada Tuhan Yang
Mahakuasa, tata peribadatan, dan tata kaidah yang bertalian dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya dengan kepercayaan itu.[28]
Agama menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
adalah sistem yang mengatur tata keimanan (kepercayaan) dan peribadatan kepada
Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan
manusia dan manusia serta lingkungannya.[29]
Kata "agama" berasal dari bahasa
Sansekerta āgama yang berarti "tradisi".[30]
Sedangkan kata lain untuk menyatakan konsep ini adalah religi yang
berasal dari bahasa Latin religio dan berakar pada kata kerja re-ligare
yang berarti "mengikat kembali". Maksudnya dengan berreligi,
seseorang mengikat dirinya kepada Tuhan.
Émile Durkheim mengatakan bahwa agama adalah
suatu sistem yang terpadu yang terdiri atas kepercayaan dan praktik yang
berhubungan dengan hal yang suci. Kita sebagai umat beragama semaksimal mungkin
berusaha untuk terus meningkatkan keimanan kita melalui rutinitas beribadah,
mencapai rohani yang sempurna kesuciannya.[31]
Dalam penjelasan selanjutnya, agama dibedakan
menjadi agama wahyu dan agama bukan wahyu. Agama wahyu biasanya berpijak pada
keesaan Tuhan, ada nabi yang bertugas menyampaikan ajaran kepada manusia dan
ada kitab suci yang dijadikan rujukan dan tuntunan tentang baik dan buruk.
Sedangkan pada agama yang bukan wahyu tidak membicarakan tentang keesaan Tuhan,
dan tidak ada nabi.[32]
Agama sebagai suatu hal yang ada dapat
diilmukan syarat ilmiah dan cara kerjanya. Maka ada bermacam-macam ilmu yang
obyeknya suatu aspek dari agama yaitu ilmu perbandingan agama, ada psikologi
agama, ada fenomenologi agama, dan ada sosiologi agama. Apa yang menjadi
obyeknya masing-masing cukuplah sudah diajukan memang ada ilmu-ilmu yang
menyelidiki agama (aspeknya) secara ilmiah.[33]
Agama sering disebut juga kepercayaan,
alasannya karena yang diwahyukan oleh Tuhan haruslah dipercayai. Dalam agama,
untuk mendapatkan kebenaran hakiki manusia tidak hanya mencarinya sendiri,
melainkan ia harus menerima hal-hal yang diwahyukan Tuhan, dengan kata singkat
percaya atau iman. Agama mendasarkan diri kepada kebenaran wahyu (baca:
keimanan).[34]
Agama memberi jawaban tentang banyak (pelbagai)
soal asasi yang sama sekali tidak terjawab oleh ilmu. Akan tetapi perlu
ditegaskan disini pula bahwa tidak semua persoalan manusia terdapat jawabannya
dalam agama. Adapun soal-soal manusia yang tidak ada jawabannya dalam agama
dapat kita buktikan sebagai berikut: (1) soal-soal kecil, detail, yang tidak
prinsipil, seperti jalan kendaraan sebelah kiri atau sebelah kanan, soal rambut
panjang atau pendek bagi pria dan wanita dan sebagainya. (2)
persoalan-persoalan yang tidak ada secara jelas tersurat dalam kitab suci, yang
diserahkan kepada ijtihad (hasil daya pemikiran manusia yang tiada berlawanan
dengan jiwa dan semangat kitab suci). (3) persoalan-persoalan yang tetap
merupakan misteri dikabuti rahasia yang tiada terjangkau akal budi dan
fakultas-fakultas rohaniah manusia lainnya karena keterbatasannya, yang
merupakan ilmu (dengan sifat mutlak) Allah swt., yang karena kebijaksanaannya,
tiada dilimpahkannya kepada manusia, seperti hakikat ruh, hakikat qadha dan
qadar, dan lain sebagainya.[35]
Manusia memiliki kemampuan terbatas, kesadaran
dan pengakuan akan keterbatasannnya menjadikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang
luar biasa diluar dirinya. Sesuatu yang luar biasa itu tentu berasal dari
sumber yang luar biasa juga. Dan sumber yang luar biasa itu ada bermacam-macam
sesuai dengan bahasa manusianya sendiri. Misal Tuhan, Dewa, God, Syang-ti,
Kami-Sama dan lain-lain atau hanya menyebut sifat-Nya saja seperti Yang Maha
Kuasa, Ingkang Murbeng Dumadi, De Weldadige dan lain-lain. Dengan demikian
diperoleh keterangan yang jelas, bahwa agama itu penghambaan manusia kepada
Tuhannya. Dalam pengertian agama terdapat 3 unsur, ialah manusia, penghambaan
dan Tuhan. Maka suatu paham atau ajaran yang mengandung ketiga unsur pokok
pengertian tersebut dapat disebut agama.[36]
Menurut Leight, Keller dan Calhoun, agama
terdiri dari beberapa unsur pokok:[37]
a.
Kepercayaan agama, yakni suatu prinsip yang dianggap benar tanpa ada
keraguan lagi
b.
Simbol agama, yakni identitas agama yang dianut umatnya.
c.
Praktik keagamaan, yakni hubungan vertikal antara manusia dengan
Tuhan-Nya, dan hubungan horizontal atau hubungan antarumat beragama sesuai
dengan ajaran agama
d.
Pengalaman keagamaan, yakni berbagai bentuk pengalaman keagamaan yang
dialami oleh penganut-penganut secara pribadi.
e.
Umat beragama, yakni penganut masing-masing agama
C.
Relasi Ilmu Pengetahuan dan Agama
Ilmu Pengetahuan dan Agama
mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Dikatakan terkait
karena keduanya tidak dapat bergerak dan berkembang apabila tidak ada alat dan
tenaga utama yang berada di dalam diri manusia. Alat dan tenaga utama manusia
adalah akal pikir dan keyakinan sehingga dengan kedua hal tersebut manusia
dapat mencapai kebahagiaan bagi dirinya.[38]
Ilmu pengetahuan dapat bergerak dan berkembang berkat adanya akal pikiran
manusia, sedangkan agama dapat bergerak dan berkembang berkat adanya keyakinan.
Dikatakan reflektif karena ilmu pengetahuan dan agama baru dapat dirasakan
faedahnya dalam kehidupan manusia apabila keduanya merefleksi dalam diri
manusia.[39]
Ilmu mendasarkan pada akal pikir
lewat pengalaman dan indra, sedangkan agama mendasarkan pada keyakinan terhadap
otoritas wahyu.[40] Ilmu Pengetahuan yang
sejati haruslah mendasarkan pada agama. Apabila ilmu pengetahuan tidak
berdasarkan pada agama dan hanya semata-mata berdasarkan pada akal pikir saja,
ilmu pengetahuan tersebut tidak akan memuat kebenaran ojektif karena yang
memberikan penerangan dan putusan adalah akal pikiran.[41]
Sementara itu, kesanggupan akal pikiran terbatas sehingga ilmu pengetahuan yang
hanya berdasarkan pada akal pikir semata-mata tidak akan sanggup memberi
kepuasan bagi manusia, terutama dalam rangka pemahamannya terhadap yang gaib.[42]
Agama dan ilmu pengetahuan
memainkan peranan yang penting dan fundamental dalam sejarah dan kehidupan
manusia. Orang-orang yang mengetahui secara mendalam tentang sejarah agama dan
ilmu pengetahuan niscaya memahami secara benar bahwa pembahasan ini sama sekali
tidak membicarakan pertentangan antara keduanya dan juga tidak seorang pun
mengingkari peran sentral keduanya. Sebenarnya yang menjadi tema dan inti perbedaan
pandangan dan terus menyibukkan para pemikir tentangnya sepanjang abad adalah
bentuk hubungan keharmonisan dan kesesuaian dua mainstream disiplin ini.[43]
Di samping itu, masih banyak
tema-tema mendasar berkisar tentang hukum-hukum eksistensi di alam yang masih
membutuhkan pengkajian dan analisa yang mendalam, dan semua ini yang hanya
dapat dilakukan dengan pendekatan ilmu pengetahuan. Jika agama memperbincangkan
tentang eksistensi-eksistensi di alam dan tujuan akhir perjalanan segala
maujud, lantas bagaimana mungkin agama bertentangan dengan ilmu pengetahuan.
Bahkan agama dapat menyodorkan asumsi-asumsi penting sebagai subyek penelitian
dan pengkajian ilmu pengetahuan. Pertimbangan-pertimbangan ilmu pengetahuan
berkaitan dengan keyakinan-keyakinan dan tradisi-tradisi agama hanya akan
sesuai dan sejalan apabila seorang penganut agama senantiasa menuntut dirinya
untuk berusaha memahami dan menghayati secara rasional seluruh ajaran, doktrin,
keimanan, dan kepercayaan agamanya. Dengan demikian, ilmu pengetahuan tidak
lagi dipandang sebagai musuh agama dan salah satu faktor perusak keimanan,
bahkan sebagai alat dan perantara yang bermanfaat untuk meluaskan pengetahuan
dan makrifat tentang makna terdalam dan rahasia-rahasia doktrin suci agama.
Dengan ini niscaya menambah kita terhadap kebenaran ajaran agama.[44]
Walaupun hasil-hasil penelitian
rasional tidak bertolak belakang dengan agama, tapi selayaknya sebagian
penganut agama justru bersikap proaktif dan melakukan berbagai pengkajian dalam
bidang ilmu pengetahuan sehingga landasan keimanan dan keyakinannya semakin
kuat dan terus menyempurna, bahkan karena motivasi keimananlah mendorongnya
melakukan observasi dan pembahasan filosofis yang mendalam terhadap
ajaran-ajaran agama itu sendiri dengan tujuan menyingkap rahasia dan hakikatnya
yang terdalam.[45]
Ilmu pengetahuan dan agama,
keduanya merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisahkan. Ilmu
pengetahuan membutuhkan agama (wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan
dengan alam gaib yang tidak bisa dijangkau oleh akal. Sedangkan sains membantu
agama dalam hal metode. Sains memberi kita pemahaman yang lebih luas mengenai
semesta dimana Allah terlibat.[46] Agama
juga memerlukan ilmu pengetahuan untuk memahami ajaran agama. Berdasarkan
perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan ilmu pengetahuan
saling bertolak belakang.[47]
Ilmu pengetahuan dan agama
mempunyai persamaan sebagai berikut:
1.
Baik agama maupun sains dibangun atas dasar pengalaman manusia dan
mendapat inspirasi dari keyakinan.[48]
Pelaku kegiatan agama dan sains adalah sama-sama manusia.[49]
2.
Keduanya merupakan sumber atau wadah kebenaran (obyektifitas) atau
bentuk kebenaran.
3.
Keduanya mempunyai metode, sistem, dan mengolah obyeknya secara lengkap.
4.
Keduanya menjadi besar berkat pencarian dan perenungan yang didorong
oleh cinta yang murni kepada kebenaran.[50]
Baik ilmu pengetahuan maupun agama bertujuan sekurang-kurangnya berurusan
dengan hal yang sama, yaitu kebenaran. Ilmu pengetahuan dengan metodenya
sendiri, mencari kebenaran tentang alam dan termasuk di dalamnya manusia. Agama
dengan karakteristiknya sendiri pula memberikan jawaban atas segala persoalan
asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam maupun tentang manusia dan tentang Tuhan.[51]
Adapun perbedaan antara ilmu
pengetahuan dan agama adalah:
1.
Sumber kebenaran ilmu pengetahuan adalah akal pikiran manusia,
pengalaman, dan intuisinya, oleh karena itu disebut juga bersifat horizontal
dan immanent. Sedangkan sumber kebenaran agama adalah dari Allah, karena itu
disebut juga bersifat vertical dan transedental.
2.
Bidang kajian agama adalah alam metafisik, sedangkan bidang kajian sains
adalah alam empiris.[52] Agama
bersifat dogmatis, mengandung nilai-nilai yang terkait dengan keyakinan.
Kebenaran dalam agama tidak selalu dapat diterima dengan nalar (logika). Namun
agama menawarkan penjelasan pada manusia tentang fenomena tertentu. Penjelasan
tersebut diperoleh melalui perasaan, intuisi, dan wahyu dari Tuhan. Berbeda
dengan ilmu pengetahuan, yang berada pada tahapan yang langsung berhubungan
dengan fakta, harus dipersonalisasikan, juga harus menjelaskan fakta. Konsekuensinya,
ilmu memiliki struktur dan prosedur tertentu.[53]
3.
Pendekatan agama deduktif emosional, sedangkan sains induktif rasional.
5.
Agama adalah sumber-sumber asumsi dari ilmu pengetahuan, dan ilmu
pengetahuan menguji asumsi-asumsi tersebut.
6.
Agama mendahulukan kepercayaan dari pada pemikiran, sedangkan ilmu
pengetahuan mempercayakan sepenuhnya kekuatan daya pemikiran.
7.
Agama mempercayai akan adanya kebenaran dan kenyataan dogma-dogma agama,
sedangkan ilmu pengetahuan tidak mengakui dogma-dogma sebagai kenyataan tentang
kebenaran.[55]
8.
Agama menentukan tujuan hidup, sedangkan ilmu pengetahuan menentukan
sarana untuk hidup.
9.
Ilmu pengetahuan mencari kebenaran dengan jalan penyelidikan (riset),
pengalaman (empiris), dan percobaan (eksperimen). Manusia mencari dan menemukan
kebenaran dengan dan dalam agama dengan jalan mempertanyakan (mencari jawaban
tentang) pelbagai masalah asasi dari atau kepada kitab suci, kodifikasi firman
Ilahi untuk manusia di bumi ini.
10.
Kebenaran ilmu pengetahuan adalah kebenaran positif (yaitu kebenaran
yang masih berlaku sampai dengan ditemukan kebenaran atau teori yang lebih kuat
dalilnya atau alasannya) dan bersifat relatif (nisbi). Sedangkan kebenaran
agama bersifat mutlak (absolut), karena ajaran agama adalah wahyu yang
diturunkan oleh dzat Yang Maha Benar, Maha Mutlak, dan Maha Sempurna, yaitu
Allah swt.
11.
Ilmu pengetahuan dimulai dengan sikap sangsi atau tidak percaya
sedangkan agama dimulai dengan sikap percaya dan iman.[56]
Dengan memperhatikan spesifikasi
dan sifat-sifat di atas, terlihat jelas bahwa peran agama terhadap ilmu
pengetahuan ialah meluruskan ilmu pengetahuan hasil akal pikir manusia kepada
kebenaran mutlak yang ada pada agama. Sedangkan peran ilmu pengetahuan terhadap
agama ialah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan
pemikiran yang kritis dan logis.[57]
Dengan demikian, kontribusi ilmu pengetahuan dalam mengantarkan keimanan kepada
Tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas tertentu, ilmu pengetahuan bisa
mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi dan kekuasaan Tuhan yang telah
banyak diungkap oleh agama.[58]
Allah telah menganugerahkan kepada
manusia: alam, akal budi, dan wahyu. Dengan akal budi manusia dapat lebih
memahami, baik ayat quraniyah (wahyu) maupun ayat kauniyah (alam)
untuk kebahagiaan mereka yang hakiki.[59]
Mustahil terdapat pertentangan
antara agama pada satu pihak dengan ilmu pengetahuan pada pihak lainnya. Sebab
ilmu pengetahuan berhasil dalam memahami kenyataan alam, susunan alam,
pembagian alam, bagian-bagian alam dan hukum (yang berlaku bagi) alam.
Al-Qur’an (ayat quraniyah) tidak lain adalah pembukuan segenap alam
semesta (ayat kauniyah) dalam satu alkitab. Kedua ayat Allah (ayat quraniyah
dan ayat kauniyah) itu saling menafsirkan. Penafsiran yang satu terhadap
yang lainnya tidak akan pernah kontradiktif, karena keduanya berasal dari
Allah, yang pertama sabda Allah (the words of Allah) dan yang kedua
karya Allah (the works of Allah).[60]
Ian G. Barbour menyatakan:
“The selective character of both science and
religion. Even between the various sciences, theories can be virtually
independent of each other (in physical geology and molecular biology, let us
say) because each field has a selective interest –though the sciences represent
similar types of interest”.[61]
Perbedaan perumusan antara agama pada satu
pihak dan ilmu pengetahuan pada pihak lainnya adalah mungkin saja. Perbedaan
formulasi antara ilmu pengetahuan yang satu dengan ilmu pengetahuan yang
lainnya tentang suatu masalah tertentu adalah lazim dalam dunia ilmu
pengetahuan (pada geologi fisik pada satu pihak dan biologi molekul pada pihak
lainnya) besar kemungkinan berbeda sekali karena mempunyai kepentingan
masing-masing yang berbeda.
Pada prinsipnya, antara ilmu
pengetahuan dan agama mempunyai hubungan yang erat dan saling terkait antara
satu dan lainnya. Dimana keduanya memiliki kekuatan daya gerak dan refleksi
yang berasal dari manusia. Dalam diri manusia terdapat daya yang menggerakkan
ilmu pengetahuan dan agama yaitu melalui akal pikir dan keyakinan. Akal pikiran
manusia sebagai daya gerak dan berkembangnya ilmu pengetahuan. Sedangkan
keyakinan menjadi daya gerak agama. Ilmu pengetahuan diperoleh melalui akal
pikiran manusia dari pengalaman (empiris) dan indera (riset). Sedangkan agama
mendasarkan diri pada otoritas wahyu.[62]
Hubungan lain adalah bahwa objek
materi ilmu pengetahuan adalah alam dan manusia, dan objek kajian agama adalah
Tuhan. Hubungan yang lebih dekat lagi, dapat disaksikan bahwa hal-hal yang
tidak terjangkau oleh akal pikiran akan terjawab melalui wahyu atau agama.
Dengan demikian antara ilmu pengetahuan dan agama dapat saling mengisi dan
saling melengkapi. Sehingga menjadi lengkaplah sudah kebutuhan manusia untuk
memahami keberadaan alam, manusia, dan Tuhan.[63]
Bertrand Russel menulis:
“Science is the attempt to discover, by means
of observation, and reasoning based upon it, first, particular facts about the
world, and then laws connecting facts with one another and making it possible
to predict future occurrences. Religion, considered socially, is a more complex
phenomenon than science. Each of the great historical religions has three
aspect: (1) a Church, (2) a Creed, and (3) a code of personal morals”.[64]
Sains merupakan usaha menemukan, maksudnya
pengamatan, dan pemikiran yang didasarkan pada hal itu. Pertama, fakta-fakta
tertentu tentang bumi dan hukum-hukum yang menghubungkan fakta satu dengan
fakta yang lainnya, dan membuat hal tersebut mungkin saja mampu memprediksi
kejadian-kejadian yang akan datang. Agama, secara sosial, merupakan fenomena
yang lebih kompleks dari pada sains. Setiap sejarah besar agama mempunyai tiga
aspek: (1) gereja, (2) kepercayaan, dan (3) kode moral pribadi.
George Sarton mengakui bahwa
kayakinan yang dibutuhkan oleh manusia adalah keyakinan yang religius.
Menurutnya, kebutuhan ini merupakan satu di antara tiga serangkai yang
dibutuhkan oleh manusia: seni, agama dan ilmu pengetahuan. Katanya, “Seni
mengungkapkan keindahan. Seni adalah kenikmatan hidup. Agama berarti kasih
sayang. Agama adalah musik kehidupan. Ilmu pengetahuan berarti kebenaran dan akal.
Ilmu pengetahuan adalah hati nurani umat manusia. Kita membutuhkan ketiganya:
seni, agama dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan mutlak diperlukan, meskipun
tidak pernah memadai.”[65]
D.
Problem-Problem Relasi Ilmu Pengetahuan dan Agama
Hingga dewasa ini, masih banyak
masalah atau pertanyaan terkait relasi ilmu pengetahuan dan agama yang masih
jauh dari pemecahannya. Akan tetapi masalah-masalah tersebut masih sangat hidup
dan masih terus membangkitkan berbagai tanggapan menarik. Di antara
pertanyaan-pertanyaan yang merupakan masalah ilmu pengetahuan dan agama adalah:[66]
1.
Apakah sains telah menyebabkan agama tidak masuk akal lagi secara
intelektual?
2.
Apakah sains itu menyingkirkan adanya Tuhan yang personal?
3.
Bukankah evolusi menyebabkan seluruh ide mengenai penyelenggaraan Ilahi
tidak masuk akal lagi?
4.
Bukankah biologi modern sudah memperlihatkan bahwa hidup dan akal budi
dapat dijelaskan oleh ilmu kimia dengan akibat bahwa gagasan-gagasan mengenai
jiwa dan ruh pun hanyalah semu belaka?
5.
Apakah kita masih harus percaya bahwa dunia ini diciptakan Tuhan? Atau
bahwa kita berada di sini karena memang benar-benar dikehendaki oleh Sesuatu
atau Seseorang? Apakah tidak mungkin bahwa semua pola yang rumit dalam alam ini
hanyalah hasil dari suatu peluang yang serba kebetulan?
6.
Dalam zaman yang ditandai dengan kemajuan sains ini, dapatkah kita
secara jujur percaya bahwa alam semesta ini memang mempunyai arah atau tujuan
tertentu? Lagi pula, bukankah agama bertanggung jawab atas krisis ekologis?
Dan masih banyak isu-isu lain
terkait relasi sains dan agama seperti Physics and Cosmology (The Big Bang,
The anthropic principle), Biology (Charles Darwin, Neo-Darwinism: Richard
Dawkins, Evolutionary theism), Psychology (Ludwig Feuerbach, William James,
Sigmund Freud).[67]
Ada empat jalan utama untuk
mengungkapkan pemahaman akan relasi sains dan agama yang dipakai untuk
memikirkan masalah-masalah itu.[68] Pertama,
pendekatan konflik yaitu suatu keyakinan bahwa pada dasarnya sains dan
agama tidak dapat dirujukkan. Kedua, pendekatan kontras yaitu suatu
pernyataan bahwa tidak ada pertentangan yang sungguh-sungguh karena sains dan
agama memberi tanggapan terhadap masalah yang sangat berbeda. Ketiga,
pendekatan kontak yaitu suatu pendekatan yang mengupayakan dialog,
interaksi, dan kemungkinan adanya “penyesuaian” antara sains dan agama, dan
terutama mengupayakan cara-cara bagaimana sains ikut memengaruhi pemahaman
religius dan teologis. Keempat, pendekatan konfirmasi merupakan suatu
perspektif yang lebih tenang, tetapi sangat penting. Perspektif ini menyoroti
cara-cara agama, pada tataran yang mendalam, mendukung dan menghidupkan segala
kegiatan ilmiah.
E.
Kesimpulan
Peradaban manusia tidak lepas dari
pergumulan antara berbagai nilai, termasuk nilai sains dan agama. Pertanyaannya
disini adalah mengenai adanya klaim telah wujudnya suatu bidang kajian bernama
“sains dan agama” yang bersifat internasional, antarbudaya, antaragama, dan
antradisiplin. Beberapa dekade yang lalu terdapat gagasan yang populer bahwa
sains adalah satu-satunya jalan menuju kebenaran. Sumber lain dari kebenaran,
khususnya keyakinan agama, dikatakan menjadi ketinggalan zaman.
Setelah melewati periode pandangan
pesimistik dan perspektif-perspektif sains dan agama di lingkaran akademik pada
paruh pertama abad ke-20, dewasa ini, kecenderungan-kecenderungan religius
mulai tampak pada sejumlah ilmuwan.
Ilmu Pengetahuan dan Agama
mempunyai hubungan yang terkait dan reflektif dengan manusia. Ilmu mendasarkan
pada akal pikir lewat pengalaman dan indra, sedangkan agama mendasarkan pada
keyakinan terhadap otoritas wahyu. Ilmu pengetahuan dan agama, keduanya
merupakan karunia dari Tuhan yang tak dapat dipisahkan.
Ilmu pengetahuan membutuhkan agama
(wahyu) karena ada masalah-masalah yang berkaitan dengan alam gaib yang tidak
bisa dijangkau oleh akal. Sedangkan sains membantu agama dalam hal metode.
Sains memberi kita pemahaman yang lebih luas mengenai semesta dimana Allah
terlibat. Agama juga memerlukan ilmu pengetahuan untuk memahami ajaran agama.
Berdasarkan perspektif ini, adalah tidak logis apabila ajaran agama dan ilmu
pengetahuan saling bertolak belakang.
peran agama terhadap ilmu
pengetahuan ialah meluruskan ilmu pengetahuan hasil akal pikir manusia kepada
kebenaran mutlak yang ada pada agama. Sedangkan peran ilmu pengetahuan terhadap
agama ialah membantu keyakinan manusia terhadap kebenaran mutlak itu dengan
pemikiran yang kritis dan logis. Dengan demikian, kontribusi ilmu pengetahuan
dalam mengantarkan keimanan kepada Tuhan bukannya tidak ada. Dalam batas-batas
tertentu, ilmu pengetahuan bisa mendukung berbagai bukti kebenaran eksistensi
dan kekuasaan Tuhan yang telah banyak diungkap oleh agama.
Hingga dewasa ini, masih banyak masalah
atau pertanyaan terkait relasi ilmu pengetahuan dan agama yang masih jauh dari
pemecahannya. Ada empat jalan utama untuk mengungkapkan pemahaman akan relasi
sains dan agama yang dipakai untuk memikirkan masalah-masalah itu yaitu melalui
pendekatan konflik, pendekatan kontras, pendekatan kontak, dan pendekatan
konfirmasi.
[4] John F. Haught, Perjumpaan
Sains dan Agama: Dari Konflik ke Dialog, terj. Fransiskus Borgian (Bandung: Mizan, 2004), ix.
[11] Lihat Leahy, Aliran-Aliran
Besar Ateisme, 1990, 157-159, juga daftar bibliografi yang begitu banyak
yang bertemakan persoalan mengenai sains dan ketuhanan, 163-164
[15] A. Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian Dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan Aksiologis
(Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), 123.
[17] A. Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian, 123.
[19] Pusat Bahasa Departemen
Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa,
2008), 574.
[20] B. Arief Sidharta,
Apakah Filsafat dan Filsafat Ilmu Itu? (Bandung: Pustaka Sutra, 2008), 7-11.
[21] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (26 November 2011).
[22] A. Susanto, Filsafat
Ilmu: Suatu Kajian, 123.
[26] Gordon D. Kaufman, In
Face of Mistery: A Constructive Theology (Cambridge: Harvard University
Press, 1993)
[30] Menurut kamus
Sansekerta-Inggris Monier-Williams (cetakan pertama tahun 1899) pada entri
āgama: ...a traditional doctrine or precept, collection of such doctrines,
sacred work [...]; anything handed down and fixed by tradition (as the reading
of a text or a record, title deed, &c.)
[31] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (29 November 2011).
[33] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel, Pengantar Filsafat (Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press,
2011), 64.
[36] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama (29 November 2011).
[39] J.H. Randall, Brand
Blanshard, R.A. Abelson, J.E. Mora Harold Titus, dan C.H. Kaiser sependapat
bahwa seni, ilmu, filsafat, dan agama (keyakinan) merupakan empat unsur
eksistensi manusia, sehingga manusia dikatakan mempunyai eksistensi (hidup)
apabila keempat hal tersebut berproses dalam diri manusia. Lihat The Liang Gie,
……………………………………………, 32-46.
[46] Linda Smith and William
Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama: Dulu dan Sekarang, terj. P.Hardono
Hadi (Yogyakarta: Kanisius, 2000), 186.
[52] Bakhtiar, Filsafat
Agama, 245.
[53] Tim Penyusun MKD IAIN
Sunan Ampel, Pengantar Filsafat, 69-70.
[54] Bakhtiar, Filsafat
Agama, 245.
[61] Ian G. Barbour, Issues
in Sciences and Religion (New York: Harper & Row, Publisher Inc, 1971),
264.
[67] Alister E. McGrath, Science
and Religion an Introduction (Oxford: Blackwell Publishers Inc, 1999), vii.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar