Polemik Konversi IAIN menjadi UIN

POLEMIK KONVERSI IAIN MENJADI UIN
Oleh: Siti Qurroti A’yun[1]

Pendahuluan
Di era reformasi sekarang ini, perubahan sistem –termasuk pula dalam ranah pendidikan– mulai menggeliat.
Kalangan kampus-kampus berbasis Islam seperti IAIN dan STAIN berupaya melakukan pembenahan diri, termasuk pula berupaya merubah sistem pendidikan dengan menjadi sebuah Universitas. Berbagai argumentasi masing-masing elemen sebagai alasan yang mendasarinya, baik yang pro dan kontra terhadap kebijakan tersebut masih terasa hangat.
Di kalangan civitas akademika IAIN Sunan Ampel Surabaya, konversi IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) masih menjadi polemik. Wacana ini sudah lama bergulir di wilayah kampus IAIN Sunan Ampel. Menanggapi hal itu tentunya banyak pihak –baik dosen maupun mahasiswa– yang pro dan kontra. Tetapi yang paling mendasar adalah tentang kekhawatiran mahasiswa mengenai  persoalan pasca menjadi UIN Sunan Ampel, apakah institusi ini  akan tetap memelihara Ilmu keislaman? Siapa yang akan memelihara ilmu keislaman? Apakah ilmu keislaman tidak akan terpinggirkan?
Para dosen, justru sangat mendukung terhadap gagasan konversi. Jika menggunakan tolok ukur para pembantu dekan, sebagai  suara dosen, maka tampaknya gagasan menjadi UIN adalah bagian dari proses untuk melakukan diversifikasi program studi agar lebih relevan dengan tuntutan kebutuhan. Sementara itu, kalangan mahasiswa menginginkan agar tetap menjadi IAIN sebab ada kekhawatiran bahwa setelah menjadi UIN, maka ilmu keislaman akan terlantar. Mungkin para mahasiswa mendapatkan berbagai informasi tentang perlakuan yang dirasakan oleh para mahasiswa ilmu keislaman yang mungkin merasa dianaktirikan. Proses inilah yang mungkin dirasakan oleh para mahasiswa Islamic studies akhir-akhir ini. Akumulasi dari perasaan inilah yang kemudian mewujudkan rasa ketakutan di kalangan mahasiswa, bahwa nasib mereka yang mengambil prodi Islamic studies akan terpinggirkan.
Bagi beberapa UIN, mungkin mengambil prioritas untuk mengembangkan program studi umum.  Misalnya pemberian prioritas untuk prodi saintek, maka dapat dipastikan seluruh energi dikerahkan untuk pengembangan prodi baru tersebut. Pemikiran untuk memprioritaskan prodi yang baru tentu dianggap wajar, sebab prodi baru ini harus diprioritaskan, sebab terkait dengan kompetensi dan kompetisi yang memang harus dilakukan. Hal ini semata-mata untuk mengejar kompetisi yang terkait dengan perguruan tinggi yang memiliki prodi yang sama.
Jadi memang persoalannya adalah pada prioritas program untuk mengejar ketertinggalan dengan kompetitor di perguruan tinggi lain. Jadi bukan pada masalah peminggiran atau penganaktirian. Memang harus dipahami bahwa program studi baru juga harus mengejar akreditasi, maka pemenuhan standar ketercukupan minimal untuk terakreditasi tentunya harus dipenuhi.
Namun demikian, ada satu hal yang tentu tidak boleh dilupakan oleh  UIN, IAIN dan STAIN sebagai institusi pendidikan tinggi yaitu menjadi pusat pengembangan ilmu keislaman. Oleh karena itu, maka UIN, IAIN dan STAIN juga tidak boleh melupakan misi utama institusi ini sebagai pengembang ilmu keislaman. Dalam keadaan apapun atau ketika ada perubahan apapun secara institusional, maka misi utama ini harus tetap diutamakan.

The IAIN is a very interesting and probably unique institutions, but it is also exposed to several tendencies and pressures particularly concerning the IAIN need further reflection. This is particularly true of the recent project to transform the IAIN into an Islamic state university. This project crucially places the IAIN at a crossroads in its fourty-year development.[2]

Keinginan untuk mengembangkan IAIN menjadi UIN memerlukan kerja ekstra keras. Sebab, di tengah-tengah posisi umat Islam Indonesia yang sedang gamang, timbul ide untuk “menegerikan” IAIN yang selama ini dipandang sebagai basis pemikiran Islam di Indonesia.[3]
Kajian keislaman atau studi ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah tradisi akademik yang relatif masih baru. Meskipun pengkajian ilmu-ilmu keislaman dalam pengertian tradisional-konvensional memiliki akar historis yang cukup panjang yang antara lain terkonsentrasi di pesantren-pesantren sejak beberapa abad lampau, akar tradisi studi keislaman sebagai sebuah genre keilmuan dengan artikulasi epistemologis-paradigmatis yang khas bisa dilacak hingga kurang lebih paruh kedua abad ke-20 seiring dengan berdiri dan berkembangnya institusi-institusi pendidikan tinggi Islam seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), dan lembaga-lembaga kajian keislaman lainnya. Konversi beberapa IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dalam beberapa tahun terakhir juga diyakini akan memberikan nuansa tersendiri bagi dinamika studi keislaman di tanah air.[4]
Namun demikian, diharapkan IAIN tidak melupakan tugas utamanya. IAIN bertugas menyelenggarakan pendidikan tinggi di bidang ilmu agama Islam dan merupakan pusat pengembangan dan pendalaman agama Islam di Indonesia. Sejak tahun 2000, sebagian IAIN diubah menjadi UIN yang juga menyelenggarakan pendidikan di bidang ilmu sekuler. Misalnya, IAIN Sunan Kalijaga sejak 2004 berubah menjadi Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 50 Tahun 2004 tanggal 21 Juni 2004. Sedang IAIN Syarif Hidayatullah sejak 2002 berubah menjadi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah berdasarkan Keputusan Presiden RI No. 31 Tahun 2002 tanggal 20 Mei 2002.[5]

Pro – Kontra Konversi IAIN menjadi UIN
-          Lebih Baik Tetap IAIN
Seiring dengan masuknya era pasar bebas (free market era) sebagai konskuensi dari era globalisasi, tak ayal lagi bila rezim kapitalisme semakin berjingkrak dengan arogansinya. Kebutuhan terhadap skill teknologi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dalam menyongsong era high technology agar tidak ketinggalan zaman dan terlindas oleh era teknologi menjadi beban yang menakutkan, baik pada institusi/lembaga pendidikan atau pun di kalangan lain. Kualitas out put pendidikan dalam persaingan dengan out put pendidikan lainnya saling berebut untuk memperoleh pekerjaan yang sudah dibekali skill dan basic teknologi sesuai dengan kebutuhan pasar.
Alasan inilah yang mendasari kenapa IAIN harus berkonversi ke UIN, yakni untuk menyiapkan out putnya ke depan sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan pasar. Tidak ada lagi dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum, yaitu ilmu agama hanya berhak dipelajari atau dimiliki oleh IAIN saja dan ilmu umum hanya milik kampus umum saja. Dengan adanya konversi IAIN ke UIN diharapakan akan terbentuk integritas keilmuan yang mapan dan akan menjadikan out put yang berkualitas dan kapabel tidak hanya di bidang agama saja tetapi juga dibidang keilmuan non agama. Hal ini sering disebut dengan penguasaan IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) dan IMTAK (iman dan takwa). Namun, benarkah argumen tersebut menjadi sebuah alasan mutlak perubahan tersebut?
Konversi IAIN ke UIN dalam era global sekarang ini, akan menimbulkan berbagai pertanyaan dan kekhawatiran dari berbagai elemen masyarakat, dosen dan mahasiswa terutama dari kalangan IAIN itu sendiri atau dari kalangan pemuka agama Islam. Isu konversi IAIN menjadi UIN merupakan hal yang demikian menggurita di tingkatan mahasiswa. Sekian banyak hal senantiasa menggugah pikiran mahasiswa akan adanya nuansa perubahan yang sebenarnya tidak signifikan.
Terjadinya komersialisasi pendidikan ditengarai karena ketidakmampuan pemerintah dalam  mensubsidi pendidikan. Diberlakukannya Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dengan jargon “otonomi kampus” ternyata telah disalahpahami oleh para rektor yang kemudian semena-mena dalam merubah orentasi pendidikan  kampusnya. Contoh kongkrit adalah dengan dikenakannya BOP (Biaya Operasional Pendidikan). BOP ini alih-alih malah digunakan untuk menutupi biaya pembangunan ataupun kelengkapan fasilitas baik suprastrutur maupun infrastruktur ketika konversi IAIN menjadi UIN telah terwujud. Naiknya SPP jelas akan terjadi untuk mangimbangi besarnya SPP fakultas-fakultas eksakta yang akan didirikan.
Marginalisasi fakultas-fakultas keagamaan menjadi sebuah keniscayaan karena ketika fakultas-fakultas umum atau eksakta terbentuk persaingan akan terjadi dan kita bisa melihat sejauh mana daya tawar fakultas keagamaan di kalangan masyarakat. Di sinilah letak perubahan orientasi pendidikan dari Humanisasi menjadi Dehumanisasi atau pangsa pasar. Mahasiswa lah yang akan merasakan implikasi-implikasi dari konversi IAIN menjadi UIN.
IAIN Sunan Ampel Surabaya, kini berupaya untuk menjadi Universitas sebagaimana Universitan Islam Negeri lainnya. Meskipun sosialisasi kepada mahasiswa masih sangat kurang, tetapi rektor yakin bahwa “proyek” konversi IAIN menuju UIN akan segera tergapai dengan sukses, walaupun di dalamnya masih terdapat pertentangan-pertentangan di kalangan mahasiswa. Perubahan IAIN menjadi UIN memiliki implikasi yang luar biasa baik terhadap mahasiswa maupun sistem pendidikan IAIN. Karena itulah, debat publik Konversi IAIN menuju UIN menjadi sangat penting untuk kita apresiasi bersama.
-          Saatnya IAIN berubah menjadi UIN
Melalui pengembangan ilmu umum yang nantinya akan juga menjadi besar, maka dampak positifnya bagi Islamic studies adalah bisa meng-arange anggaran khusus untuk pengembangan Islamic studies. Bukankah dengan jumlah anggaran yang memadai maka pengembangan program akan sangat dimungkinkan. Seirama dengan berlakunya UU BHP, maka lembaga pendidikan tinggi harus kreatif untuk meningkatkan generate income-nya. Sehingga melalui peningkatan generate income tersebut, maka akan sangat memungkinkan pengembangan program-program yang selaras dengan peng-arusutama-an prodi Islamic studies.
Dengan demikian, pengembangan institusi dari IAIN ke UIN akan menjadikan program Islamic studies memperoleh kesempatan untuk menjadi program studi yang diutamakan karena ketersediaan dosen yang sudah mapan, penguatan program studi yang mengarah ke ekselen dan diharapkan akan meningkatkan kualitas mahasiswa. Jadi, perubahan tersebut akan menjadi momentum penting untuk melangkah mengembangkan Islamic studies yang lebih kuat. Hanya yang perlu dipahami adalah jangan sampai konversi itu justru menjadikan Islamic studies  ke kelas dua. Dan itu semua tergantung kepada akademisi kampus yang bersangkutan.
Menjelang penghujung abad ke-20, muncul gagasan baru tentang pengembangan Institut Agama Islam Negeri (IAIN) menjadi Universitas Islam Indonesia (UIN). Gagasan ini dianggap positif karena alasan-alasan sebagai berikut: Pertama, UIN diduga dapat menyelesaikan masalah dualisme pendidikan dan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum; Kedua, mengembangkan dan mengawinkan ilmu-ilmu agama Islam dan sains modern; Ketiga, meningkatkan daya tampung mahasiswa universitas negeri dengan biaya relatif murah.[6]
Gagasan ini salah satunya dikarenakan selama ini masih banyak masalah yang dihadapi oleh lembaga perguruan tinggi Islam (baca: IAIN), antara lain:
-          Meskipun sudah berdiri puluhan tahun, sebagai lembaga pendidikan tinggi negeri dasar hukumnya belum kuat.
-          Ilmuwan-ulmuwan Islam Indonesia yang mampu membawa Islam ke dalam pemahaman modern dan sanggup menjadi juru bicara Islam ke dunia luar itu adalah mereka yang setelah mendapat pendidikan awal, S1 misalnya, di Timur kemudian mendapat kesempatan berkenalan dengan dunia perguruan tinggi Barat.[7]
-          Input yang kurang mumpuni. Tidak jarang siswa yang mendaftar di IAIN adalah karena tidak lulus UASBN sehingga IAIN terkesan sebagai “pelarian” semata.
-          Mahasiswa baru belum sepenuhnya menguasai dua bahasa utama dalam studi Islam yaitu Arab dan Inggris.
-          Mutu dosen yang serba “pas-pasan”. Dengan gaji yang kecil maka sedikit banyak memicu mereka untuk mencari “objekan” di luar kampus. Untuk mencari dosen yang ahli dalam bidangnya, sangat sulit.[8]
Kekhawatiran akan termarginalisasikannya lima fakultas yang telah ada tidak cukup beralasan. Bahkan dalam rangka konversi ke UIN, lima fakultas yang ada diperkuat dengan standar metodologi dan epistemologi baru yang selevel dengan pendidikan, pengajaran dan penelitian di universitas pada umumnya dengan berbagai penyesuaian sehingga mempunyai daya tawar keluar yang lebih bagus dan kompetitif.[9] Untuk memperkuat fakultas agama yang ada di UIN adalah dengan cara memadukan fakultas agama yang ada dengan kelompok ilmu atau program studi ilmu-ilmu sosial dan humaniora pada fakultas-fakultas yang ada sekarang ini.[10]
Ruang gerak Universitas tentunya lebih luas daripada Institut.[11] Kerjasama dengan berbagai pihak baik dengan dalam maupun luar negeri menjadi terbuka lebar. Problem dikotomi keilmuan pun sedikit banyak akan dapat teratasi, meskipun dengan kurikulum dan silabinya perlu dirancang secara lebih cermat. Pengembangan kemampuan akademik dan keluasan cakupan wilayah penelitian juga lebih dimungkinkan dalam bentuk universitas. Pusat-pusat studi dapat berkembang lebih luas, belum lagi dalam kerjasama dengan dunia usaha.[12]

Menjadi UIN; Antara Tantangan dan Harapan
-          Alasan dan Harapan
Dalam perkembangan sejarah peradaban, Islam dihadapkan oleh gencarnya kolonial kapitaslime dalam perdagangan. Pada abad ke-18, masyarakat muslim tradisional tidak mampu bertahan. Hampir semua wilayah Islam, Afrika Barat sampai Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan cepat diduduki oleh kolonial. Bukan saja dalam militer, tetapi umat muslim juga tertinggal terhadap sains yang menguasai peradaban.
Dari sini kita dapat mengambil sebuah gambaran, ada sebuah kesadaran yang mencul dari sebagian pemikiran muslim untuk membangun kembali bagaimana Islam seharusnya. Kemudian banyak muncul gagasan pembaharuan di dalam Islam. Selama ini, pendidikan Islam hanya melahirkan out put pendidikan yang tidak dapat memenuhi peran-peran sosial yang relevan; dan tidak memberikan arahan pada pendidikan yang modern. Ulama secara umum membuang aspek penting dalam warisan keilmuan, terutama pemikiran kritis dan inovatif.
Universitas Islam di Indonesia merupakan perguruan tinggi yang menjadi citra universalitas pemikiran dan ilmu. Citra ini merupakan realisasi dari konsep agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Universitas Islam pertama di Indonesia adalah Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Kelahiran Universitas Islam didasarkan atas kondisi objektif masyarakat Indonesia di satu pihak dan keinginan mengaplikasikan filsafat ilmu dan filsafat pendidikan Islam di pihak lain.[13]
Universitas Islam di Indonesia ada yang diawali dengan pendirian Fakultas Agama Islam, ada pula yang baru membuka Fakultas Agama Islam pada fase berikutnya. Pada universitas Islam yang disebut pertama tampak jelas tujuan maupun citra Islamnya. Sementara citra Islam pada universitas yang disebut terakhir ini terletak pada statuta, tujuan dan aplikasinya dalam struktur kurikulum, baik intra maupun ekstra-kurikuler. Universitas Islam kedua ini tampaknya ingin sekali mendifusikan nilai-nilai Islam dengan budaya lokal.[14]
Banyak masalah yang menghadang gagasan untuk mengembangkan sejumlah IAIN menjadi UIN. Masalah-masalah tersebut meliputi masalah politis, administratif dan finansial, yuridis, dan psikologis. Masalah politis menyangkut kebijakan pemerintah dalam memberikan dukungan maksimal atas gagasan tersebut. Jika pemerintah mempunyai keinginan politis yang kuat, maka ia mesti merealisasikannya dalam angka rupiah melalui Anggaran Penerimaan dan Belanja Negara (APBN) yang disetujui Dewan Perwakilan Rakyat. Namun demikian, tampaknya hal ini belum kelihatan. Masalah administratif dan finansial adalah menyangkut kewenangan antarkementerian dalam pengelolaan dan pembiayaan UIN. Dalam hal ini antara Kementerian atau Departemen Agama dengan Kementerian atau Departemen Pendidikan Nasional. Tampaknya masih tarik-ulur antara kedua departemen tersebut. Masalah yuridis menyangkut revisi UU Sistem Pendidikan Nasional sebagai dampak perubahan kementerian yang akan menaungi UIN. Sementara itu, masalah psikologis meliputi kekhawatiran sejumlah tokoh Islam akan terjadinya marginalisasi ilmu-ilmu agama di lingkungan UIN. Kalangan ini lebih menginginkan penguatan pengembangan IAIN secara lebih kokoh dan mendalam serta meningkatkan fungsi-fungsinya, baik akademik maupun non akademik.[15]
Apa pun yang terjadi dalam proses pengembangan IAIN ke UIN menunjukkan adanya proses dinamika pemikiran Islam di Indonesia yang tidak pernah terkelupas dari perkembangan sosial politik yang mendasarinya.[16]
Pengembangan IAIN menjadi UIN akan merambah empat wilayah yang harus dijawab yaitu: Pertama, bidang keilmuan yang menuntut upaya serius para sarjana di lingkungan IAIN untuk menghilangkan dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Kedua, bidang kelembagaan yang mengharuskan IAIN untuk memikirkan kembali, apakah lembaga ini menjadi otonom atau harus tetap “mengekor” pada Departemen Agama. Ketiga, persoalan anggaran keuangan. Sejauh ini, IAIN masih bertahan dengan biaya pendidikan dari Depag dan SPP mahasiswa. Tentu saja, biaya ini masih kurang jika nantinya berubah menjadi UIN. Keempat, masalah lapangan pekerjaan. Lulusan IAIN memang sudah mulai diperhitungkan. Namun demikian, hal tersebut dipicu oleh maraknya lulusan IAIN yang berani “loncat pagar” dari keimuan mereka.[17]
Dari keempat tantangan di atas, tentu saja menuntut keseriusan kita semua untuk memikirkan nasib UIN. Karena itu, mitra sejajar antara pimpinan, dosen, dan mahasiswa harus dibangun mulai sekarang. Dengan begitu, ketika ada tantangan-tantangan di atas, bukan lagi persoalan masing-masing pihak, namun persoalan kita semua. Jadi, siapa pun civitas akademika boleh memberikan idenya untuk memikirkan nasib IAIN menuju UIN.[18]
Sebagai institusi pendidikan tinggi bidang Agama Islam masih merupakan tugas utama IAIN. Main mandatenya tidak boleh dan tidak perlu digeser oleh wider mandatenya. Hanya saja kualitas dan koleksi perpustakaan, buku literatur yang digunakan, jaringan kelembagaan, pengembangan metodologi pengajaran dan penelitian serta mentalitas keilmuan para dosen dan mahasiswanya perlu memperoleh titik fokus penekanan yang lebih daripada sebelumnya sesuai dengan kultur akademik yang ada pada universitas.[19]
Pengembangan dan Konversi IAIN ke UIN adalah proyek keilmuan. Proyek pengembangan wawasan keilmuan dan perubahan tata pikir keilmuan yang bernafaskan keagamaan transformatif. Konversi dari IAIN ke UIN adalah momentum untuk membenahi dan menyembuhkan “luka-luka dikotomi” keilmuan umum dan agama yang makin hari makin menyakitkan.[20]
Proyek besar reintegrasi epistemologi keilmuan umum dan agama mengandung arti perlunya dialog dan kerjasama antara disiplin ilmu umum dan agama yang lebih erat di masa yang akan datang. Pendekatan interdisciplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antar berbagai disiplin ilmu perlu memperoleh skala prioritas dan perlu dibangun dan dikembangkan terus menerus. Interkoneksitas dan sensitifitas antar berbagai disiplin ilmu-ilmu kealaman dengan disiplin ilmu-ilmu sosial dan disiplin humanities serta disiplin ilmu-ilmu agama perlu diupayakan secara terus menerus.[21]
Seorang ahli studi keislaman, Ibrahim Moosa, mengisyaratkan perlunya integrasi keilmuan dengan menyatakan sebagai berikut:[22]

“… having raised the question of international relations, politics, and economics, that does not mean that scholar of religion must become economist or political scientists. However, the study of religion will suffer if its insight do not take cognizance of how this discourse of politics, economics, and culture impact to the performance of religion and vice-vice”?

Setelah mengangkat permasalahan hubungan internasional, politik dan ekonomi tidaklah berarti bahwa para ahli agama secara serta merta harus menjadi ahli ekonomi atau ahli politik. Namun demikian, studi tentang agama akan sungguh-sungguh menderita, jika pandangan dan analisis-analisisnya tidak memahami, mempertimbangkan atau menyertakan sama sekali bagaimana sesungguhnya diskursus tentang politik, ekonomi, dan budaya punya pengaruh yang luar biasa terhadap tampilan agama dan begitu pula sebaliknya.
Masing-masing rumpun ilmu sadar akan keterbatasan-keterbatasan yang melekat dalam diri sendiri dan oleh karenanya bersedia untuk berdialog, bekerjasama dan memanfaatkan metode dan pendekatan yang digunakan oleh rumpun ilmu lain untuk melengkapi kekurangan-kekurangan yang melekat jika masing-masing berdiri sendiri-sendiri, terpisah antara satu dan lainnya. Diperlukan upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dari waktu ke waktu dengan kesediaan mengorbankan kepentingan egoisme sektoral keilmuan, demi untuk menyongsong realisasi proyek keilmuan baru pada era UIN.[23]
Selama ini, IAIN hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama Islam. Perkembangannya dimulai dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA), berkembang menjadi Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN), setelah itu berkembang lagi menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Akhir-akhir ini dirasakan bentuk institut itu perlu dikembangkan lagi menjadi universitas. Berikut beberapa alasan mengapa IAIN sebaiknya dikembangkan menjadi universitas:[24]
-          Diperlukan pemikir yang mampu berpikir komperhensif
-          Ilmu agama memerlukan ilmu umum
-          Meningkatkan harga diri sarjana dan mahasiswa muslim
-          Menghilangkan paham dikotomi agama-umum
-          Memenuhi harapan masyarakat muslim
-          Memenuhi kebutuhan lapangan kerja
Ada dua cara yang ditempuh untuk mengembangkan IAIN menjadi universitas: Pertama, dengan cara langsung melalui deklarasi. Cara ini dipakai oleh pemerintah tatkala mengembangkan IKIP-IKIP menjadi universitas. Kedua, dengan cara bertahap. Tahap pertama ialah memberlakukan konsep wider mandate yaitu IAIN diberi kewenangan yang luas untuk membuka fakultas/ jurusan/ program studi/ konsentrasi ilmu-ilmu umum. Tahap kedua ialah mendeklarasikan IAIN dengan wider mandate itu menjadi universitas.[25]
Setiap kebijakan yang mengakibatkan perubahan dan pembaruan di bidang pendidikan pada umumnya baru dapat dilihat hasilnya sekitar lima tahun kemudian. Memang demikianlah sifat perubahan yang menyangkut investasi sumber daya manusia (human investment).[26] Berikut sekilas sejarah perkembangan IAIN.
IAIN yang didirikan pada 1960 merupakan penggabungan antara Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) yang didirikan di Yogyakarta pada 1950 dan Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) di Jakarta pada 1957 menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) berkedudukan di Yogyakarta berdasarkan Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960.[27]
Melalui serangkaian perundingan dan kerjasama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Penertiban dan Pendayagunaan Aparatur Negara, maka akhirnya pada tanggal 4 Juli 1985 dikeluarkan Pokok-Pokok Organisasi IAIN sebagai peraturan induk yang menjadi landasan berdirinya IAIN. Untuk melengkapi perangkat hukum bagi penyelenggaraan IAIN, maka pada tanggal 22 April 1987 berturut-turut ditetapkan Keputusan Presiden R.I. No. 9 tahun 1987 tentang Susunan Organisasi IAIN dan Keputusan Menteri Agama No. 14 sampai dengan No. 27 tahun 1988 pada tanggal 22 Februari 1988 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja bagi setiap IAIN. Dengan kelengkapan perangkat perundangan ini, maka secara yuridis kedudukan IAIN telah sejajar dengan lembaga pendidikan tinggi negeri lainnya, baik mengenai struktur organisasi maupun penghargaan eselonisasinya, sehingga para pemegang jabatan struktural di lingkungan IAIN secara efektif dapat menerima tunjangan jabatan struktural.[28]
Memperkokoh status kelembagaan yang telah dilakukan barulah permulaan dari perjalanan yang panjang. Untuk memperbaiki mutu pendidikan tinggi Islam seperti yang diidealisasikan perlu pembaruan bangunan epistemologis keilmuan yang diajarkan di IAIN.[29] Pengiriman tenaga dosen IAIN yang potensial untuk melanjutkan belajar ke universitas di negeri Barat yang mempunyai pusat-pusat studi Islam merupakan kebijakan yang segera ditempuh.[30] Pengiriman dosen IAIN ke berbagai pusat studi Islam di Barat bertujuan untuk memperluas cakrawala ilmiah mereka.[31]
Sewaktu pengiriman tenaga dosen untuk belajar ke luar negeri sedang berlangsung, pada saat yang sama, penyempurnaan sistem perjenjangan S1, S2 dan S3 bersama dengan dihapusnya program sarjana muda serta penerapan sistem satuan kredit semester (SKS) dilakukan secara efektif. Di samping itu, dengan datangnya sebagian petugas belajar dari luar negeri, maka secara berangsur-angsur dilakukan perbaikan metode pengajaran seperti penyusunan paper, seminar dan diskusi kelas serta pembahasan buku (book report).[32]
Serentetan kebijakan yang sangat strategis sebagaimana disebutkan di atas hanya akan memberikan hasil seperti yang diharapkan apabila faktor input –dalam hal ini mahasiswa– merupakan bibit-bibit potensial yang dapat dibina menjadi sarjana unggulan seperti diidentifikasikan dalam uraian terdahulu. Namun kenyataannya bahwa para mahasiswa IAIN yang dididik menjadi ahli dalam ilmu agama Islam kondisinya sangat lemah.[33] Mereka adalah produk dari suatu sistem pendidikan Madrasah Aliyah yang menganut struktur kurikulum tahun 1975 berupa 70% pengetahuan umum dan 30% pengetahuan agama.[34]
Untuk memperbaiki mutu para calon mahasiswa IAIN dengan bekal ilmu pengetahuan agama yang memadai, Menteri Agama Munawir Sjadzali pada tahun 1986 mengambil kebijakan untuk mengadakan proyek percontohan (pilot project) Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK) dengan susunan kurikulum 70% pengetahuan agama dan 30% pengetahuan umum.[35]
Di era globalisasi saat ini, perlu modifikasi dan perombakan pada struktur keilmuan, pembidangan ilmu, kurikulum dan sumber belajar lainnya. Tanpa ada perombakan berarti, maka akan memperburuk mutu lulusan PTAI, sehingga menjadikannya institusi yang tidak berguna. Dari sekian banyak jalan keluar yang ditawarkan oleh sebagian akademisi Islam, yang paling menonjol adalah ide konversi IAIN menuju UIN.[36] Beberapa alasan yang melatar belakangi timbulnya ide konversi adalah sebagai berikut:[37]
-          Pola kehidupan era global yang bisa mendegradasi peran lulusan IAIN.
-          Dikotomi ilmu umum dan agama, yang mengakibatkan hidup sekuler yang menempatkan agama sebagai urusan pribadi.
-          Sebagian besar orang tua termasuk dosen IAIN menyekolahkan anaknya pada perguruan tinggi umum.
Konversi IAIN menuju UIN merupakan langkah maju yang perlu diperjuangkan. Dengan institusi semacam universitas, IAIN dapat lebih mengembangkan diri terutama dalam pembenahan kurikulum, kegiatan eksra kurikuler, manajemen, jaringan dan modal fisik yang berdampak pada mutu lulusan (high out-put quality). UIN dapat berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan institusi pendidikan tinggi lainnya. Bahkan pada beberapa sisi, PTAI memiliki spesifikasi yang tidak dimiliki oleh universitas lain di antaranya kompetensi yang utuh dan tangguh dalam kajian keislaman maupun dalam proses islamisasi sains.[38]
Sesungguhnya dapat dikawinkan antara ilmu yang berkembang di Barat dan Islam sendiri. Kendati dasarnya berbeda, namun jika masing-masing memberikan ruang untuk saling mengisi, maka studi Islam dan studi lain-lainnya akan menemui bentuk yang pada gilirannya diharapkan mahasiswa IAIN dan non-IAIN bisa saling mengisi satu sama lain.[39]
-          Upaya Integrasi Ilmu agama dan Ilmu Umum
Dikotomi ilmu ke dalam ilmu agama dan ilmu non agama sebenarnya bukan hal baru. Islam telah memiliki tradisi dikotomi ini sejak dulu, seperti al-Ghazali menyebut kedua jenis ilmu tersebut sebagai ilm syar’iyah dan ghairu syar’iyah.[40] Akan tetapi dikotomi tersebut tidak banyak menimbulkan problem dalam sistem pendidikan Islam, hingga sistem pendidikan barat diperkenalkan ke dalam Islam melalui imperialism. Sejak itulah, terjadi dikotomi yang sangat ketat antara ilmu-ilmu umum (yang nantinya bisa disebut dengan ilmu sekuler) dan ilmu-ilmu agama.[41] Konsep integrasi keilmuan juga berangkat dari doktrin keesaan Allah (tauhid), sebagaimana dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, the arts and sciences in Islam are based on the idea of unity, which is the heart of the Muslim revelation.[42]
Perubahan IAIN ke UIN menandakan sebuah proses kesadaran yang lebih maju. Selama ini IAIN dianggap kampus yang memproduksi guru-guru agama baru, pengganti imam masjid, takmir, dan pengisi acara pengajian. Stigma ini semakin didukung fakta alumni IAIN tidak berkembang karena ijazah yang dihasilkan tidak memiliki standar yang diminta oleh pasar. Tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan di setiap kelulusan adalah orientasi mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.
Pembentukan UIN merupakan bagian dari usaha mengintegrasikan beragam keilmuan untuk mengeliminasi dikotomi antara ilmu umum[43] dan ilmu agama. Hal ini dianggap perlu dalam usaha untuk memberikan dasar etika Islam demi pengembangan ilmu dan teknologi dan pada saat yang bersamaan juga berusaha mengimplementasikan ajaran-ajaran Islam secara profesional di dalam kehidupan sosial. Perubahan IAIN menjadi UIN merupakan hasil dan usaha para sarjana Muslim yang lama dan melelahkan dimulai dari adanya Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) dari tahun 1957-1960. Kemudian pada tahun 1960-1963 berubah menjadi salah satu bagian dari fakultas di IAIN Yogyakarta. Akhirnya IAIN Syarif Hidayatullah (yang dimulai tahun 1963) berubah menjadi UIN dengan adanya Keppres No. 31 tahun 2002.
Perkembangan dunia pendidikan tinggi Islam dengan perubahan beberapa IAIN menjadi UIN, juga dibukanya prodi-prodi umum di IAIN, memunculkan harapan baru bagi munculnya alternatif paradigmatis pengembangan ilmu sosial di Indonesia. Wacana besar integrasi agama dan ilmu pengetahuan segera muncul sebagai tema sentral pengembangan ilmu sosial di IAIN/UIN. Ilmu sosial yang selama ini terlanjur dikembangkan dengan asumsi kuat terpisahnya wilayah agama dan ilmu (diferensiasi), tentu tidak dapat menjawab kebutuhan kita atas paradigma keilmuan yang integratif. Di sisi lain, gagasan semacam paradigma islamisasi ilmu sosial juga masih menyisakan banyak persoalan pelik yang justru dapat menghambat perkembangan ilmu sosial. Karena itu kiranya dibutuhkan paradigma lain yang lebih menjanjikan untuk mengatasi persoalan ini.
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, termasuk ilmu sosial yang begitu pesat, mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap kesadaran manusia tetang fenomena agama. Agama untuk era sekarang tidak lagi dapat didekati dan dipahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif semata. Tetapi lebih dari itu. Pengeseran paradigma pemahaman agama mengarah pada keterbukaan dan transparan dalam pergaulan di dunia.
Ketakutan bagi sebagian individu atau pun kelompok, bahwa perubahan UIN merupakan sebuah ajang sekularisme terhadap fakultas agama, bukan tanpa alasan. Tapi alasan-alasan apa pun yang mereka lontarkan tidaklah kuat, karena perubahan ini jelas-jelas merupakan jawaban atas sebuah dilema agama dalam menghadapi persoalan sosial. Kalau kita boleh mengutip penjelasan yang diutarakan oleh al-Afghani, perubahan adalah sebuah keharusan untuk keterbukaan, untuk menerima apa yang disuguhkan oleh modernitas Barat. Tujuan utama bukan meniru, tetapi menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi Barat serta mencapai hukum perbedaan (diversity law), tetapi tetap pada lingkaran “kembali pada al-Qur’an dan Sunnah”.
Pada masyarakat modern, paradigma ilmu pengetahuan yang objektif dibangun oleh motedelogi berdasarkan paradigma empiris dan nyata. Sedangkan agama, sebagai hal-hal subjektif yang mengungkapkan perasaan dan emosional dan penilaian moral. Keduanya memiliki peran masing-masing, tetapi yang paling penting adalah keduanya tidak boleh dicampurkan. Kenyataan yang objektif dilihat dari ilmu pengetahuan, sedangkan tasawuf, emosional , dan nilai moral menjadi bidang budaya dan agama. Kedunya penting untuk di-dialog-kan agar memiliki arti penting dalam kehidupan.
Dalam perjalanannya, memang masih ada pro dan kontra dalam perubahan ini. Pertanyaan yang muncul adalah perlukah Islamisasi ilmu? Jika memang perlu, harus tetap kita perhatikan analisa pembatasan ruang lingkup. Ilmuwan-Ilmuwan Barat modern hanya berada pada objek-objek indrawi. Hal ini menggambarkan adanya pembagian kapling antara akal dan agama. Ini yang akan melahirkan serta mencerminkan materialisme, sekularasisme, dan positivisme, yakni pandangan-pandangan filosofis yang biasanya berakhir dengan penolakan terhadap realitas metafisik dan alam ghaib.
Akan tetapi kita juga tidak bisa menafikan bahwa realitas berbicara lain. Umat beragama juga tidak ingin lepas dari berkeinginan untuk mendalami sains dan teknologi yang kini menjadi sebuah kebutuhan dan tuntutan zaman. Inilah konsep yang ditawarkan oleh Yudian Wahyudi “Islamic Positivist Transedentalisme”. Positivis adalah bicara Islam kekinian, sedangkan transeden adalah Islam mempunyai orentasi untuk hari esok, hari di luar jangkauan manusia (akhirat). Islam tidak ada keingingan untuk memisahkan antara kapling akal dan agama, karena keduanya saling membutuhkan satu dengan yang lainnya.
Dengan demikian, UIN merupakan lambang perubahan dalam sejarah yang sangat dipengaruhi oleh budaya, agama, nilai dan struktur sosial (Historis), untuk menjadikan ilmu agama sebagai media kritis untuk menpertanyakan hakikat “agama” dalam menjawab tantangan zaman. Menurut Amin Abdullah, Islam Normatif dan Islam Historis tidak bisa dipisahkan, tetapi bisa dibedakan. Keduanya merupakan hasil dari konteks, pola pikir, dan asumsi sejarah yang dibentuk oleh manusia pada zaman tertentu. Kita sebagai manusia harus mampu memformulasikan secara baru agar terbentuk sebuah paradigma baru untuk lebih maju.
Di awal telah disebutkan, ada sebuah kesadaran dari sebagian Muslim untuk memajukan sarana pendidikan. Kesadaran ini tidak semerta-merta datang begitu saja, tetapi lebih dari kesadaran yang dibentuk oleh pengamatan sehari-hari dari perkembangan pendidikan Islam hari ini. Upaya integrasi ilmu umum dan ilmu agama bukan berarti sekularisasi agama, tetapi merupakan sebuah pegeseran sejarah serta kebutuhan tuntutan zaman. Dapat disimpulkan bahwa perubahan IAIN menjadi UIN bukanlah sebuah ajang sekulerirasi dalam Islam, tetapi merupakan sebuah urgensi dan evaluasi atas ketertinggalan Islam terhadap Barat.
-          Perpesktif “Filsafat Ilmu; Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan”
Perkembangan modern Islam timbul sebagai akibat dari perubahan-perubahan besar dalam dimensi kehidupan manusia yang dibawa oleh kemajuan dalam ilmu pengetahuan. Dalam agama terdapat ajaran-ajaran yang absolut, mutlak benar, kekal, tidak dapat dirubah, dan mengkontekskan halal dan haram pada dataran yang sangat mudah. Dari persoalan itu, agama seolah menjadi Tuhan nomor dua di dunia, tidak bisa digugat dan menimbulkan dogma, yang melahirkan sikap tertutup dan tidak bisa menerima pendapat yang bertentangan dengan dogma-dogma yang dianutnya. Sikap demikian membuat orang berpegang teguh pada pendapat-pendapat lama dan tidak bisa menerima perubahan. Sikap dogmatisme ini membuat orang bersikap tradisonal, emosional dan dan tidak rasional. Sedangkan sifat dari ilmu pengetahuan dan teknologi adalah perkembangan, selalu mengalami perubahan dan membawa perubahan dalam kehidupan.
Agama yang bersifat tradisonal, cenderung mempertahankan yang lama (status quo) dan tidak sanggup mengikuti perubahan-perubahan yang sangat cepat yang dibawa oleh hasil-hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Ketidakmampuan ini melahirkan sikap pertentangan. Pertentangan ini bukan dibentuk oleh agama dengan ilmu pengetahuan serta teknologi modern, melainkan aktor-aktor agama dan aktor-aktor ilmu pengetahuan.
Tulisan ini mencoba menggambarkan adanya keharusan untuk berubah dan menepis wacana sekularisasi dalam pendidikan Agama Islam (IAIN menuju UIN) serta membangkitkan kembali gairah dalam memecahkan berbagai macam persoalan. Ini tidak berarti menafikan keharusan untuk mempelajari agama, tetapi agama tidak bisa dijaga dengan efektif dan produktif jika aktor-aktor agama buta tren teknologi modern.

Twin Towers; Konsep Konversi IAIN Sunan Ampel menjadi UIN Sunan Ampel
Semua UIN di Indonesia telah membuat ancangan tentang bagaimana pengembangan ilmu-ilmu keislaman yang akan dibangun ketika mereka mempunyai gagasan merubah IAIN menjadi UIN. Misalnya, melalui Prof. Imam Suprayogo, UIN Malang sudah mendesain pengembangan ilmu keislaman yang diberi label “Pohon Ilmu”, sedangkan UIN Jogyakarta melalui Prof. Amin Abdullah mengembangan kajian ilmu keislaman yang bercorak integrasi dan interkoneksi yang diberi label “Jaring Laba-Laba”, demikian pula yang lain. Dari sinilah kemudian rector IAIN Sunan Ampel membuat ancangan pengembangan ilmu keislaman multidisiplier yang dilabeli “Twin Towers”, yaitu pengembangan ilmu keislaman yang saling menyapa dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahkan sains.
Ilmu pengetahuan akan dapat berkembang dengan cepat melalui pendekatan bukan pada aspek obyek kajian. Oleh karena itu, perlu saling menyapa antara ilmu keislaman dengan ilmu sosial,  humaniora dan sains. Inilah yang kemudian disebut sebagai Ilmu Keislaman Mutidisipliner yang digambarkan sebagaimana menara kembar (Twin Towers)  yang saling berhubungan. Ilmu keislaman yang normatif, bisa didekati dengan ilmu-ilmu  deskriptif. Di dalam hal ini, maka ilmu tafsir atau ilmu hadits bisa didekati dengan dunia ilmu pengetahuan deskriptif, sehingga akan menghasilkan jenis sub bidang baru yang disebut, misalnya Al Qur’an dan strukturalisme, Al Qur’an dan penomenologi, dan sebagainya.
Dalam pandangan keilmuan Islam, fenomena alam tidaklah berdiri tanpa relasi dan relevansinya dengan kuasa Ilahi, karena seperti yang dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwa ia merupakan medan kreatif Tuhan sehingga mempelajari dan mengenal dari dekat cara kerja Tuhan di alam semesta.[44] Akan tetapi bahwa sebagai ilmu pengetahuan yang memiliki otonominya sendiri, maka dipastikan bahwa masing-masing keilmuan tersebut memiliki corak pengkajian yang tersendiri dan tidak bisa dipaksa untuk menggunakan pendekatan-pendekatan lainnya. Sehingga, misalnya tafsir atau hadits akan tetap bisa dan harus dikaji dengan substansi keilmuannya sendiri tersebut. Jadi, ilmu normatif akan memperoleh tempat penyemaian yang tidak kalah subur dengan pengembangan ilmu keislaman yang menggunakan pendekatan keilmuan lainnya.
Ilmu deskriptif akan berkembang secara wajar, demikian pula ilmu normatif juga akan berkembang secara wajar. Namun di antara keilmuan tersebut ada suatu ranah yang bisa saling dinegosiasikan. Wilayah negosiasi tersebut yang kemudian disebut sebagai ilmu keislaman multidispliner. Dengan demikian, ilmu fiqih, ilmu tafsir, ilmu hadits dan sebagainya akan dapat berkembang secara memadai. Antropologi, sosiologi, psikologi, ilmu politik dan sebagainya akan berkembang secara memadai. Tetapi ilmu-ilmu tersebut bisa saling dikaitkan melalui berbagai pendekatan yang dianggap relevan.
Jadi, Twin Towers sebagai model penggambaran  pengembangan ilmu keislaman adalah pengembangan tiga matra keilmuan sekaligus, yaitu ilmu deskriptif, ilmu normatif dan  ilmu multidisipliner. Tentu ke depan harus dicari jawaban ontologis dan epistemologis serta aksiologisnya sehingga model ini akan relevan dengan tuntutan eksistensi keilmuan di satu sisi dan dapat diimplementasikan ke dalam bangunan struktur keilmuan yang relevan dengan tuntutan kebutuhan masyarakat.

Kesimpulan
Kajian keislaman atau studi ilmu-ilmu keislaman (Islamic Studies) di Indonesia dapat dipandang sebagai sebuah tradisi akademik yang relatif masih baru. Meskipun pengkajian ilmu-ilmu keislaman dalam pengertian tradisional-konvensional memiliki akar historis yang cukup panjang yang antara lain terkonsentrasi di pesantren-pesantren sejak beberapa abad lampau, akar tradisi studi keislaman sebagai sebuah genre keilmuan dengan artikulasi epistemologis-paradigmatis yang khas bisa dilacak hingga kurang lebih paruh kedua abad ke-20 seiring dengan berdiri dan berkembangnya institusi-institusi pendidikan tinggi Islam seperti Institut Agama Islam Negeri (IAIN), Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN), Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta (PTAIS), dan lembaga-lembaga kajian keislaman lainnya. Konversi beberapa IAIN menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) dalam beberapa tahun terakhir juga diyakini akan memberikan nuansa tersendiri bagi dinamika studi keislaman di tanah air.
Namun demikian, ada satu hal yang tentu tidak boleh dilupakan oleh  UIN, IAIN dan STAIN sebagai institusi pendidikan tinggi yaitu menjadi pusat pengembangan ilmu keislaman. Oleh karena itu, maka UIN, IAIN dan STAIN juga tidak boleh melupakan misi utama institusi ini sebagai pengembang ilmu keislaman. Dalam keadaan apapun atau ketika ada perubahan apapun secara institusional, maka misi utama ini harus tetap diutamakan.
Apa pun yang terjadi dalam proses pengembangan IAIN ke UIN menunjukkan adanya proses dinamika pemikiran Islam di Indonesia yang tidak pernah terkelupas dari perkembangan sosial politik yang mendasarinya. Konversi IAIN menuju UIN merupakan langkah maju yang perlu diperjuangkan. Dengan institusi semacam universitas, IAIN dapat lebih mengembangkan diri terutama dalam pembenahan kurikulum, kegiatan eksra kurikuler, manajemen, jaringan dan modal fisik yang berdampak pada mutu lulusan (high out-put quality).
Jika UIN Malang mendesain pengembangan ilmu keislaman yang diberi label “Pohon Ilmu”, sedangkan UIN Jogyakarta mengembangan kajian ilmu keislaman yang bercorak integrasi dan interkoneksi yang diberi label “Jaring Laba-Laba”, maka IAIN Sunan Ampel membuat ancangan pengembangan ilmu keislaman multidisiplier yang dilabeli “Twin Towers”, yaitu pengembangan ilmu keislaman yang saling menyapa dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora bahkan sains.

Bibliografi
Abdullah, Amin dkk. Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi. Yogyakarta: SUKA Press, 2007.
Ahmad, Kamaruzzaman Bustaman. Islam Historis; Dinamika Studi Islam di Indonesia. Yogyakarta: Galang Press, 2002.
Amin, Kamaruddin dkk. Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia? (Current Trends and Future Challenges). Makassar: PPs UIN Alauddin, 2006.
El-Ikruq, Aminullah. Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan Pramedia. Surabaya: LP IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 7 No. 2, 2006.
Ghazali (al). Ihya’ Ulum Al-Din Jilid I. Semarang: Toha Putra, t.t.
Iqbal, Muhammad. The Reconstruction Of Religious Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1986.
Kartanegara, Mulyadi. Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005.
Masduki, Ridlo. “Institut Agama Islam Negeri”, Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan dkk., et al. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.
Meuleman, Johan (ed.). Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes Toward Modernity and Identity. Jakarta: INIS, 2001.
Minhaji, Akh. & Kamaruzzaman. Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam. Jogjakarta: ARRUZZ, 2003.
Minhaji, Akh. “Transformasi IAIN Menuju UIN, Sebuah Pengantar”, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum. Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2002.
Muchtarom, Zaini. “Kebijakan Pendidikan Islam di Departemen Agama”, Kontekstualisasi Ajaran Islam, ed. Muhamad wahyuni Nafis, et al. Jakarta: Paramadina, 1995.
Nafis, Muhamad Wahyuni. Kontekstualisasi Ajaran Islam. Jakarta: Paramadina, 1995.
Nasr, Seyyed Hossein. Sciences and Civilization in Islam (New York: New American Library, 1970.
Praja, Juhaya S. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Jakarta: TERAJU, 2002.
Tafsir, Ahmad. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006.




[1] Mahasiswi Pascasarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya, Konsentrasi Pendidikan Islam – Program Khusus, NIM: F.054.11.152
[2] Johan Meuleman (ed.), Islam in the Era of Globalization: Muslim Attitudes Toward Modernity and Identity (Jakarta: INIS, 2001), 297.
[3] Akh. Minhaji & Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu di Perguruan Tinggi Agama Islam (Jogjakarta: ARRUZZ, 2003), 5.
[4] Kamaruddin Amin dkk., Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia? (Current Trends and Future Challenges) (Makassar: PPs UIN Alauddin, 2006), v.
[5] Ridlo Masduki, “Institut Agama Islam Negeri”, Ensiklopedi Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan dkk., et al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, t.th.), 198.
[6] Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, 138.
[7] Muhamad Wahyuni Nafis, Kontekstualisasi Ajaran Islam, (Jakarta: Paramadina, 1995), 82-83.
[8] Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu, 10.
[9] Abdullah dkk., Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, 7-8.
[10] Ibid., 8.
[11] Berbeda memang titik tekan dan ruang lingkup pergaulan komunitas keilmuan antara Sekolah Tinggi, Institut dan Universitas. Sekolah Tinggi hanya menyelenggarakan pendidikan pada “satu” bidang ilmu saja. Sedangkan Institut membidangi “kelompok” bidang ilmu. Adapun Universitas membidangi beberapa cabang disiplin keilmuan, baik eksakta, sosial maupun humaniora
[12] Abdullah dkk., Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi, 9.
[13] Juhaya S. Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam (Jakarta: TERAJU, 2002), 134.
[14] Praja, Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam, 135.
[15] Ibid., 139-140.
[16] Ibid., 140.
[17] Kamaruzzaman, Masa Depan Pembidangan Ilmu, 6-9.
[18] Ibid., 9.
[19] Amin Abdullah dkk., Islamic Studies; Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Yogyakarta: SUKA Press, 2007), 6-7.
[20] Ibid., 33.
[21] Ibid.
[22] Ibid., 33-34.
[23] Ibid., 38.
[24] Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), 208-210.
[25] Ibid., 210.
[26] Muchtarom, “Kebijakan Pendidikan Islam di Departemen Agama”, 530.
[27] Zaini Muchtarom, “Kebijakan Pendidikan Islam di Departemen Agama”, Kontekstualisasi Ajaran Islam, ed. Muhamad wahyuni Nafis, et al. (Jakarta: Paramadina, 1995), 516-517.
[28] Ibid., 518-519.
[29] Ibid., 520.
[30] Ibid., 523.
[31] Ibid., 525.
[32] Ibid., 527.
[33] Ibid., 528.
[34] Ibid., 529.
[35] Ibid.
[36] Amin dkk., Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia?, 356.
[37] Akh. Minhaji, “Transformasi IAIN Menuju UIN, Sebuah Pengantar”, Menyatukan Kembali Ilmu-Ilmu Agama dan Umum, Upaya Mempertemukan Epistemologi Islam dan Umum (Yogyakarta: Suka Press IAIN Sunan Kalijaga, 2002), 143.
[38] Amin dkk., Quo Vadis Islamic Studies in Indonesia?, 367-368.
[39] Kamaruzzaman Bustaman Ahmad, Islam Historis; Dinamika Studi Islam di Indonesia (Yogyakarta: Galang Press, 2002), 20.
[40] Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Al-Din Jilid I (Semarang: Toha Putra, t.t.), 17.
[41] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu; Sebuah Rekonstruksi Holistik (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2005), 19.
[42] Seyyed Hossein Nasr, Sciences and Civilization in Islam (New York: New American Library, 1970), 21-22.
[43] Ilmu-ilmu umum diklasifikasikan ke dalam tiga nomenklatur keilmuan, yaitu natural science, social science, dan humanities (non-Islamic studies). Lihat Aminullah el-Ikruq, Jurnal Komunikasi dan Informasi Keagamaan Pramedia (Surabaya: LP IAIN Sunan Ampel Surabaya, Vol. 7 No. 2, 2006), 43.
[44] Muhammad Iqbal, The Reconstruction Of Religious Thought in Islam (New Delhi: Kitab Bhavan, 1986, 56-57.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar