Sejarah Pemikiran

SEJARAH PEMIKIRAN IMA>M  MADHHAB FIKIH;
ABU> H}ANI>FAH DAN MALIK BIN ANA>S

A.    Pendahuluan
Madhhab adalah pokok pikiran atau dasar yang digunakan oleh ima>m  mujtahid dalam memecahkan masalah,
atau mengistinbat}kan hukum Islam. Selanjutnya pengertian madhhab itu berkembang menjadi kelompok umat Islam yang mengikuti cara istinbat} ima>m  mujtahid tertentu.[1] Sedangkan madhhab fikih adalah aliran pemikiran tentang hukum Islam yang penetapannya merujuk kepada Al-Qur’a>n dan sunah Nabi saw.[2]
Pada masa tabi’ut tabi’i>n yang dimulai pada awal abad kedua Hijriah, kedudukan ijtihad sebagai istinbat} hukum semakin bertambah kokoh dan meluas. Sesudah masa itu, muncullah madhhab-madhhab dalam bidang hukum Islam, baik dari golongan ahl al-H}adi>th maupun ahl al-Ra’yi.[3] Pada masa ini muncul tiga belas madhhab akan tetapi dari jumlah itu ada sembilan ima>m  madhhab yang paling popular dan melembaga di kalangan umat Islam.[4]
Perkembangan madhhab-madhhab ini tidaklah sama. Ada yang mendapat sambutan dan memiliki pengikut yang mengembangkan serta meneruskannya, namun adakalanya suatu madhhab kalah pengaruhnya oleh madhhab-madhhab lain yang datang kemudian, sehingga pengikutnya menjadi surut. Madhhab yang dapat bertahan dan berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia, ada empat madhhab yaitu madhhab H}anafi, madhhab Maliki>, madhhab Shafi’i, dan madhhab Hanbali.[5] Mereka dikenal sebagai ima>m  madhhab fikih atau Ima>m  Madhhab Empat (al-Madha>hib al-Arba’ah).[6] Keempat madhhab tersebut memiliki corak pemikiran hukum dan dasar pemikiran hukum yang berbeda. Hal ini karena lingkungan tempat mereka dibesarkan dan menuntut ilmu tidak sama. Berikut tabel perbandingan keempat madhhab tersebut:[7]
Madhhab
Pendiri
Pemikiran
Penyebaran
H}anafi>
Abu> H}ani>fah al-Nu’man bin Thabit Ibn Zut}a al-Taimy al-Kufi> (Kufah, 80 H/699 M – Baghdad, 150 H/767 M)
Corak pemikiran: rasional
Dasar Istinbat}:
a.  Al-Qur’a>n
b.  Sunah
c.  Fatwa s}ah}a>bat
d. Qiyas
e.  Istihsa>n
f.   Ijma’
g.  ‘Urf
Afghanistan, Cina, India, Irak, Libanon, Mesir, Pakistan, Rusia, Suriah, Tunisia, Turkestan, Turki, dan Wilayah Balkan.
Maliki>
Malik bin Ana>s bin Malik bin Abi> Amir al-Asbahi, terkenal dengan sebutan Ima>m Da>r al-Hijrah (Madinah, 93 H/712 M – 179 H/798 M)
Corak pemikiran: dipengaruhi sunah yang cenderung tekstual
Dasar Istinbat}:
a.  Al-Qur’a>n
b.  Sunah
c.  Ijma’ s}ah}a>bat
d. Qiyas
e.  Al-Mas}lahah al-Mursalah
f.   ‘Amal ahl al-Madinah
g.  Pendapat s}ah}a>bat
Kuwait, Spanyol, Arab Saudi khususnya Mekah, Wilayah Afrika khususnya Mesir, Tunisia, Aljazair, dan Maroko.
Shafi’i>
Abu> ‘Abdulla>h bin Idris bin ‘As} bin Uthma>n bin Shafi’ al-Shafi’i> al-Mut}t}alibi> (Gaza, Palestina, 150 H/767 M – Cairo, Mesir, 204 H/20 Januari 820 M)
Corak pemikiran: antara tradisional dan rasional
Dasar Istinbat}:
a.  Al-Qur’a>n
b.  Sunah
c.  Ijma’
d. Qiyas
Bahrein, India, Indonesia, Kazakhstan, Malaysia, Suriah, Turkmenistan, Yaman, Arab Saudi khususnya Madinah, Arab Selatan, Afrika Timur, Asia Timur, dan Asia Tengah.
H}anbali>
Ah}mad bin H}anbal bin Hilal bin Asad al-Shaibani> al-Marwazi> (Baghdad, Rabiulakhir 164 H/780 M – Rabiulawal 241 H/855 M)
Corak pemikiran: tradisional (fundamental)
Dasar Istinbat}:
a.  Al-Qur’a>n
b.  Sunah
c.  Fatwa s}ah}a>bat
d. Jika ada perbedaan fatwa s}ah}a>bat, digunakan yang lebih dekat dengan Al-Qur’a>n dan h}adi>th
e.  H}adi>th mursal dan d}aif
f.   Qiyas
Arab Saudi (mayoritas)

B.     Abu> H}ani>fah (Kufah, 80 H/699 M – Baghdad, 150 H/767 M)
Nama lengkap Abu> H}ani>fah adalah Abu> H}ani>fah al-Nu’man bin Thabit Ibn Zut}a al-Taimy. Ia berasal dari keturunan Parsi. Ia hidup di dua lingkungan sosio-politik, yakni di masa akhir dinasti Umayyah dan masa awal dinasti Abbasiyah.[8] Ia adalah pendiri madhhab H}anafi, seorang ulama’ mujtahid besar dalam Islam yang ahli di bidang fikih.[9]
1.      Biografi Abu> H}ani>fah
Abu> H}ani>fah lahir di Kufah pada tahun 80 H/699 M dan meninggal dalam penjara di Baghdad pada tahun 150 H/767 M karena menolak untuk ditunjuk sebagai hakim (qa>d}i).[10] Ayahnya berasal dari keturunan Persia yang semasa kecil diajak orang tuanya berziarah kepada ‘Ali bin Abi T}alib. Lalu ia didoakan agar dari keturunannya (Thabit) ada yang menjadi ahli agama.[11]
Gelar “Abu> H}ani>fah” diberikan kepada an-Nu’man bin Thabit karena ia seorang yang sungguh-sungguh dalam beribadah. Kata h}ani>f dalam bahasa Arab berarti “suci” atau “lurus”. Setelah menjadi ulama mujtahid, ia pun dipanggil dengan sebutan Ima>m  Abu> H}ani>fah atau Ima>m  H}anafi. Madhhabnya dinamakan madhhab H}anafi.[12] Karena keluasan ilmunya, ia dijuluki al-ima>m  al-a’z}am, ima>m  yang paling agung.[13]
2.      Latar Belakang Pendidikan Abu> H}ani>fah
Abu> H}ani>fah dikenal rajin serta teliti dalam bekerja dan fasih berbahasa. Pembicaraannya selalu mengandung nasihat dan hikmah. Ia teguh dalam memegang prinsip, berani menyatakan yang benar di hadapan siapa pun, dan memiliki kepribadian yang luhur. Walaupun putra saudagar kaya, ia amat menjauhi kemewahan hidup. Begitu pula ketika menjadi pedagang kaya, ia lebih banyak mendermakan hartanya daripada menggunakannya sendiri. Ia senang bergaul dan mempunyai banyak s}ah}a>bat.[14]
Sejak masa mudanya, Abu> H}ani>fah sudah menunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang bertalian dengan hukum Islam. Ia mengunjungi berbagai tempat untuk berguru kepada ulama’ yang terkenal.[15] Pada mulanya ia gemar belajar ilmu qira’at, h}adi>th, nahwu, sastra, shi’ir, teologi, dan ilmu-ilmu yang berkembang pada masa itu. Selanjutnya ia menekuni ilmu fikih di Kufah yang pada waktu itu merupakan pusat pertemuan para ulama fikih yang cenderung rasional. Ia juga beberapa kali pergi ke Hijaz untuk mendalami fikih dan h}adi>th.[16] Ia belajar fikih sampai ia berumur 40 tahun.[17] Ia terkenal sebagai ahli ilmu kalam pertama yang berasal dari golongan ahli fikih.[18]
Ia adalah orang pertama yang menggunakan istilah al-Fiqh al-Akbar untuk masalah-masalah akidah dan al-Fiqh al-Asghar untuk masalah-masalah fikih. Ia menulis kitab al-Fiqh al-Akbar yang isinya bukan tentang ilmu fikih seperti yang kita kenal sekarang, melainkan justru tentang akidah yang menjadi objek bahasan ilmu kalam atau tauhid. Boleh jadi ilmu fiqih seperti yang berkembang sekarang ini dalam kerangka pemikiran Abu> H}ani>fah adalah al-Fiqh al-Asgar. Sebab keduanya pada dasarnya adalah fiqih atau pemahaman yang tersistematisasikan. Yang pertama menyangkut bidang usuliah sedangkan yang kedua menyangkut bidang furu’iyah. Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan pengertian fiqih sebagaimana yang digunakan oleh Imam Abu> H}ani>fah tersebut.[19]
Minatnya yang mendalam terhadap ilmu fikih, kecerdasan, ketekunan, dan kesungguhannya dalam belajar mengantarkannya menjadi seorang yang ahli di bidang fikih. Keahliannya diakui oleh ulama semasanya, antara lain Ima>m  H}ammad bin Abi Sulaiman. Ia sering memercayakan tugas kepada Abu> H}ani>fah untuk memberi fatwa dan pelajaran ilmu fikih di hadapan murid-muridnya.[20]
Selain ilmu fikih, Abu> H}ani>fah juga mendalami h}adi>th dan tafsir, karena keduanya sangat erat kaitannya dengan fikih. Pengetahuan lain yang dimilikinya adalah sastra Arab dan ilmu hikmah. Karena menguasai hukum Islam secara mendalam, Abu> H}ani>fah diangkat menjadi mufti di kota Kufah, menggantikan Ima>m  Ibra>him an-Nakhai.[21] Abu> H}ani>fah hidup pada masa dimana banyak timbul golongan Islam, di saat Wasil bin At}a’ memimpin Mu’tazilah. Pada masa itu, faham tajsim dan tashbih mulai tersebar di kalangan umat Islam.[22]
3.      Pola Pemikiran Abu> H}ani>fah
Abu> H}ani>fah dikenal mempunyai sikap keras dan tegas terhadap bid’ah. Dalam memberikan pengajaran, ia selalu menekankan untuk berpikir kritis. Ia lebih banyak memakai argumentasi akal daripada ulama lainnya sehingga ia digelari Ima>m  Ahlurra’yi.[23] Bahkan ia lebih mengutamakan ra’yi dari khabar ah}ad.[24] Ia adalah pelopor qiyas sebagai faktor penting dalam membangun hukum Islam dan ijma’ dari umat sebagai sumber hukum Islam.[25] Sebagai seseorang yang pernah mengembara, pengalamannya itu sangat mempengaruhi corak fikihnya yang lebih menekankan aspek muamalah.[26]
4.      Metode Istinbat} Abu> H}ani>fah
Dasar yang dipakai Abu> H}ani>fah dalam menetapkan hukum adalah:
a.       Al-Qur’a>n, sebagai landasan pokok.
b.      Sunah Rasulullah saw. Dalam menerima suatu h}adi>th, ia melakukan seleksi yang lebih ketat sehingga h}adi>th yang dapat diterimanya sebagai sumber hukum relatif lebih terbatas. Seleksi yang ketat itu antara lain terlihat dalam hal penerimaan h}adi>th ah}ad. Ia mensyaratkan bahwa isi h}adi>th yang diriwayatkan itu tidak menyalahi apa yang dipraktekkan pera>wi itu sendiri.[27] Ia mengambil h}adi>th-h}adi>th mutawattir, mashhur, dan ah}ad.[28]
c.       Fatwa s}ah}a>bat yang disepakati, dan memilih salah satu pendapat mereka yang diperselisihkan. Jika hukum suatu masalah tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut, ia melakukan ijtihad.[29]
d.      Qiyas, adalah penyamaan hukum suatu persoalan yang tidak disebutkan secara tegas dalam teks dengan persoalan yang ditegaskan hukumnya dalam teks, karena adanya kesamaan ilat antara keduanya.[30]
e.       Istihsa>n. Istihsa>n dalam madhhab h}anafi adalah penetapan hukum dalam kasus tertentu dengan hukum yang berbeda dari kaidah yang berlaku umum, misalnya berdasarkan qiyas, bisa jadi berbenturan dengan suatu kepentingan yang dipandang lebih layak menurut shara’ untuk diwujudkan.[31]
f.       Ijma’, yaitu kesepakatan para mujtahid tentang suatu kasus hukum pada suatu masa tertentu.[32]
g.      ‘Urf, yaitu adat istiadat yang berlaku di masyarakat Islam.[33] Ketentuan yang telah mapan dalam masyarakat dapat dikukuhkan sebagai hukum sepanjang tidak bertentangan dengan al-Qur’a>n dan Sunah Nabi saw.[34]
h.      Hilah (hiyal shar’iyyah), adalah suatu jalan yang dilalui sebagai upaya untuk keluar dari suatu kesempitan dengan cara yang menurutnya diakui oleh shara’.[35]
5.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Abu> H}ani>fah dalam Menetapkan Hukum Islam
Abu> H}ani>fah dilahirkan di masa khalifah Umayyah ketika umat Islam berada dalam ketakutan akibat tekanan Umayyah yang kejam dan tidak adil. Abu> H}ani>fah menyaksikan periode keruntuhan Umayyah dan pembunuhan khalifah terakhirnya, Marwan, di tangan khalifah Abbasiyah pertama, as}-S}affah. Ia juga menyaksikan kebangkitan khalifah Abbasiyah kedua, Abu Ja’far al-Mans}u>r. Khalifah ini juga yang membunuhnya dengan amat kejam.[36] Abu> H}ani>fah hidup selama 52 tahun pada masa Umayyah dan 18 tahun pada masa Abbasiyah. Dari perjalanan hidupnya itu, ia sempat menyaksikan tragedi-tragedi besar di Kufah. Kota Bas}rah dan Kufah di Irak mewarnai intelektualnya di tengah berlangsungnya proses transformasi sosio-kultural, politik, dan pertentangan tradisional antara suku Arab Utara, Arab Selatan, dan Persi.[37]
Banyak faktor yang menyebabkan madhhab H}anafi bersifat rasional. Di samping guru-gurunya yang berkecenderungan rasionalis, kondisi sosiologis turut mempengaruhi pola pikir Ima>m  H}anafi. Pada zamannya, Irak adalah pusat kegiatan, kebudayaan, dan peradaban yang banyak memunculkan masalah-masalah baru yang belum ada sebelumnya.[38] Irak adalah tempat pengembangan fikih aliran ra’yu  yang berakar dari masa s}ah}a>bat. Ibnu Mas’ud merupakan seorang s}ah}a>bat yang dikirim Umar bin Khat}t}ab untuk menjadi guru dan qad}i di Kufah, Irak, dengan membawa paham fikih Umar. Umar bin Khat}t}ab terkenal dengan ahli hukum Islam yang hasil ijtihadnya banyak berorientasi pada tujuan hukum atau inti permasalahan hukum dengan memahami ayat atau h}adi>th secara rasional.[39]
Ibnu Mas’ud berhasil membentuk kader dari kalangan tabi’i>n yang melestarikan paham fikihnya, diantaranya adalah Alqamah bin Qais an-Nakha’i. Selanjutnya diwariskan kepada Ibra>him an-Nakha’i, kemudian kepada Ima>m  H}ammad bin Abi Sulaiman. Dari Ima>m  H}ammad inilah Abu> H}ani>fah berguru sehingga ia menjadi alim.[40]
Dalam menetapkan hukum, Abu> H}ani>fah dipengaruhi oleh perkembangan hukum di Kufah, yang terletak jauh dari Madinah sebagai kota tempat tinggal Rasulullah saw. Di satu sisi, Kufah sebagai kota yang berada di tengah kebudayaan Persia, kondisi kemasyarakatannya telah mencapai tingkat peradaban cukup tinggi. Oleh sebab itu, banyak muncul problema kemasyarakatan yang memerlukan penetapan hukumnya. Di sisi lain, di Kufah sangat kurang perbendaharaan h}adi>thnya di samping banyak terjadi pemalsuan h}adi>th. Hal inilah yang menyebabkan Abu> H}ani>fah sangat selektif dalam menerima h}adi>th. Untuk menyelesaikan masalah yang aktual, ia banyak menggunakan ra’yi.[41]
6.      Karya-Karya Abu> H}ani>fah
Jamil Ahmad dalam bukunya Hundred Great Muslmes mengemukakan bahwa Abu> H}ani>fah meninggalkan tiga karya besar, yaitu fiqh akbar, al-‘A>lim wa al-Muta’alim, dan musna>d fiqh akbar.[42] Abu> H}ani>fah meninggalkan banyak ide dan buah pikiran. Sebagian ide dan buah pikirannya ditulisnya sendiri dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh muridnya untuk kemudian dibukukan. Kitab yang ditulisnya sendiri antara lain al-Fara>id, ash-Shurut, dan al-Fiqh al-Akbar. Sedangkan kitab yang ditulis oleh muridnya cukup banyak. Ulama madhhab H}anafi membagi kitab itu ke dalam tiga tingkatan.[43]
Pertama, tingkat Masa>’il al-Us}u>l, ada 6 kitab yang terkenal dengan sebutan al-Kutub al-Sittah. yaitu al-Mabsut, al-Jami’ as}-S}aghi>r, al-Jami’ al-Kabi>r, as-Sair as}-S}aghi>r, as-Sair al-Kabi>r, dan az-Ziya>dah. Keenam kitab ini dihimpun dan disusun menjadi satu oleh Ima>m  Abdul Fadl Muh}ammad bin Ahmad al-Marwazi dengan nama al-Ka>fi>. Ada yang mengatakan bahwa keenam kitab tersebut merupakan kumpulan fatwa Ima>m  H}anafi hasil koleksi Muh}ammad bin Hasan ahs-Shaibani, dengan judul kitab Zahir ar-Riwa>yah. Kedua, tingkat Masa>’il an-Nawa>zir, yaitu kitab H}arr an-Niyah, Jurj an-Niyah, Qais an-Niyah, dan al-Mujarrad. Ketiga, al-Fatawa wa al-Waqi’at, yaitu kitab an-Naw>azil.[44]
Selain itu, ada beberapa kitab yang dinisbahkan kepada Abu> H}ani>fah, yaitu kitab al-Makha>rij dalam bidang fikih dan al-Musna>d dalam bidang h}adi>th.[45] Saat ini pemikiran fikih Ima>m  H}anafi telah dirangkum dalam sebuah buku yang berjudul The Essential H}anafi Handbook of Fiqh karya Mala Budda Min Hu.[46]
7.      Guru dan Murid Abu> H}ani>fah
Gurunya kebanyakan dari para tabi’i>n, antara lain At}a bin Abi Rabah, Nafi’ Maula bin ‘Amr, H}ammad bin Abi> Sulaiman, Muh}ammad al-Baqir, ‘Adi bin Thabit, Abdurrah}man bin Hammaz, ‘Amr bin Dinar, Mans}u>r bin Mu’tamir, Syu’bah al-H}ajja>j, Asim bin Abu> an-Najwad, Salamah bin Kuhail, Ima>m  Qatadah, Ibra>him an-Nakha’i dan Rabi’ah bin Abi> Abdurrah}man.[47] Kedua gurunya, H}ammad dan Ibra>him, adalah murid Alqamah bin Qais yang berguru pada Ibnu Mas’ud, seorang s}ah}a>bat yang sangat mengagumi ijtihad rasional Umar bin Khat}t}ab.[48]
Abu> H}ani>fah berhasil mendidik dan menempa ratusan murid yang mana puluhan di antaranya menjabat sebagai hakim-hakim dalam pemerintahan dinasti Abbasiyah, Saljuk, ‘Uthmani, dan Mughal.[49] Banyak orang datang dari daerah yang jauh hanya untuk mendengarkan fatwanya, dan dalam waktu singkat muridnya pun bertambah dengan pesat. Diantara murid-muridnya adalah Abu> Yusuf, Muh}ammad bin H}asan ash-Shaibani, Zufar bin Hudail, dan H}asan bin Ziyad.[50]
8.      Penyebaran dan Perkembangan Madhhab H}anafi
Salah satu aliran terkemuka dalam Islam adalah madhhab H}anafi yang didirikan Abu> H}ani>fah. Para pengikutnya disebut dengan al-Ah}naf.[51] Madhhab ini berkembang di Irak dan dikenal sebagai madhhab paling rasional sehingga terkenal dengan sebutan madhhab ra’yi. Madhhab H}anafi pernah menjadi madhhab resmi Abbasiyah dan Usmani.[52] Faktor pendorong pertumbuhan dan perkembangan madhhab H}anafi antara lain adalah:[53]
a.       Banyaknya murid Abu> H}ani>fah yang menyebarluaskan pendapatnya dan menjelaskan prinsip dasar madhhab fikihnya
b.      Datangnya generasi berikutnya yang mengembangkan metode istinbat}nya
c.       Penyebarannya di berbagai negara dengan tradisi yang berbeda-beda.
Madhhab H}anafi tersebar secara luas di berbagai negara di bawah kekuasaan Daulah Abbasiyah, kerajaan Turki Usmani (Ottoman), daerah Asia Tengah (Anatolia, Transoksania, Turkistan), Irak, India, Pakistan, Bangladesh, Turki, Cina, Libanon, dan negara Islam yang dahulu bergabung dengan Uni Soviet, terutama Uzbekistan, Tadzikistan, dan Kazakstan.[54] Madhhab ini tersebar juga di Suriah, bahkan pernah menjadi madhhab negara. Demikian juga di Mesir, dikukuhkan pada pemerintahan Muh}ammad Ali (1805–1849).[55]
C.    Malik bin Ana>s (Madinah, 94 H/716 M – Madinah, 179 H/795 M)
Nama lengkap Malik bin Ana>s adalah Abu> Abdillah Malik bin Ana>s bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin H}aris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin H}aris al-Asbahi. Ia adalah pendiri madhhab Maliki>, ahli ibadah, seorang ima>m  dan mujtahid besar dalam Islam yang ahli di bidang fikih dan h}adi>th[56], yang terkenal dengan sebutan Ima>m  Da>r al-Hijrah (tokoh panutan penduduk Madinah).[57]
1.      Biografi Malik bin Ana>s
Malik bin Ana>s dilahirkan di Madinah pada tahun 94 H/716 M dan wafat pada usia 85 tahun, hari Ah}ad, 10 Rabi’ul Awal 179 H/795 M di Madinah pada masa pemerintahan Abbasiyah di bawah kekuasaan Harun al-Rashi>d, dan dimakamkan di Jannat al-Baqi[58]. Ia adalah keturunan bangsa Arab dusun Zu Asbah kota Himyar. Ibunya bernama Siti al-‘Aliyah binti Shuraik bin Abdurrah}man bin Shuraik al-Azdiyah. Ada riwayat yang mengatakan bahwa Malik bin Ana>s berada dalam kandungan rahim ibunya selama dua tahun, ada pula yang mengatakan sampai tiga tahun.[59]
Sejak lahir hingga wafatnya ia berada di Madinah. Ia tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Madinah ketika itu merupakan pusat perkembangan sunah/h}adi>th Rasulullah saw., dan ia menjadi salah seorang periwayat (ra>wi) h}adi>th yang masyhur.[60]
2.      Latar Belakang Pendidikan Malik bin Ana>s
Malik bin Ana>s terdidik di kota Madinah pada masa pemerintahan khalifah Sulaiman bin Abdul Malik dari Bani Umayah VII. Pada waktu itu di kota tersebut hidup beberapa golongan pendukung Islam, antara lain golongan s}ah}a>bat Ans}a>r dan Muhajiri>n serta para cerdik pandai ahli hukum Islam. Dalam suasana seperti itulah ia tumbuh dan mendapat pendidikan dari beberapa guru yang terkenal. Pelajaran pertama yang diterimanya adalah al-Qur’a>n kemudian h}adi>th.[61]
Malik bin Ana>s mencurahkan studinya pada ilmu h}adi>th (riwayat), fatwa s}ah}a>bat dan tabi’i>n. Selanjutnya, aspek ini menjadi pilar pokok bagi bangunan fikihnya. Di samping itu, ia juga mengarahkan perhatiannya pada studi ilmu keislaman lainnya.[62] Menginjak usia 17 tahun, Malik bin Ana>s mendapat ijazah untuk menyelenggarakan pengajian sendiri di Madinah.[63] Ia menghabiskan waktu 50 tahun hidupnya belajar fikih dan h}adi>th.[64]
Ia menyelenggarakan pengajarannya di masjid Nabawi dan memilih tempat yang pernah dipakai ‘Umar bin Khat}t}ab. Ia menyelenggarakan dua jenis pengajaran, yaitu khusus bidang h}adi>th dan memberikan fatwa terhadap kasus yang sudah terjadi.[65] Silsilah sanad h}adi>th dari Ana>s bin Malik dipandang sebagai “silsilah emas” atau silsilah adh-dhahab (rangkaian ra>wi h}adi>th yang dianggap paling sahih).[66]
3.      Pola Pemikiran Malik bin Ana>s
Sejak lahir hingga wafatnya ia berada di Madinah. Madinah ketika itu merupakan pusat perkembangan sunah/h}adi>th Rasulullah saw., dan ia menjadi salah seorang periwayat (ra>wi) h}adi>th yang masyhur.[67] Ia termasuk ima>m  madhhab fikih yang beraliran ahl al-H}adi>th. Selaku seorang Mufti yang dipercaya oleh umat di masa itu, ia sering menghadapi kekejaman fisik dari penguasa karena ia tetap mempertahankan pendapatnya tentang masalah “paksaan talak itu tidak sah”. Ia tetap tidak mencabut fatwanya yang bertentangan dengan khalifah al-Mans}u>r dari bani Abbas di Baghdad. Ia pun disiksa dan dihukum penjara.[68]
4.      Metode Istinbat} Malik bin Ana>s
Dasar hukum yang berlaku dalam madhhab Maliki> adalah sebagai berikut:
a.       Al-Qur’a>n. Malik bin Ana>s mengambil dari nas yang tegas yang tidak menerima takwil dan mengambil bentuk lahirnya; mafhum muwafaqah atau fahwa al-khit}ab; mafhum mukhalafah; dan ‘ilat hukum.[69]
b.      As-Sunnah. Sunah yang diambil adalah sunah mutawattir; sunah mashhur baik di tingkat tabi’i>n atau tabi’ut tabi’i>n; h}adi>th ah}ad yang didahului atas praktek penduduk Madinah; dan qiyas.[70] Dalam hal penerimaan h}adi>th, Malik bin Ana>s hanya menerima h}adi>th dari orang yang memang dipandang ahli h}adi>th dan thiqah, yang matannya tidak bertentangan dengan Al-Qur’a>n. Dalam hal periwayatan h}adi>th, ia hanya meriwayatkan h}adi>th yang makruf dan mensyaratkan juga matan h}adi>th itu sejalan dengan amalan penduduk Madinah.[71]
c.       Ijma’ (kesepakatan) para ulama dan fuqaha. Ijma’ ahl al-Madinah lebih diutamakan dari pada khabar ah}ad sebab ijma’ ahl al-Madinah merupakan pemberitaan oleh jama’ah sedangkan khabar ah}ad merupakan pemberitaan perorangan.[72]
d.      Praktek penduduk Madinah (‘amal ahl al-Madinah). Begitu kuat keyakinan Malik bin Ana>s mengenai apa yang diperbuat penduduk Madinah terutama dalam bidang agama adalah hasil mencontoh generasi sebelumnya yang berasal dari Nabi saw.[73] Praktek penduduk Madinah yang disepakati, menurut Ima>m  Malik, bernilai hampir setara dengan h}adi>th, sehingga harus didahulukan dari qiyas.[74] Bahkan jika praktek yang disepakati penduduk Madinah bertentangan dengan h}adi>th ah}ad maka praktek penduduk Madinah lebih didahulukan.[75]
e.       Fatwa s}ah}a>bat dan tabi’i>n besar. Yang dimaksud dengan s}ah}a>bat disini adalah s}ah}a>bat besar, yang pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql. Malik bin Ana>s mensyaratkan, fatwa s}ah}a>bat tersebut tidak boleh bertentangan dengan h}adi>th marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa s}ah}a>bat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas.
f.       Khabar Ah}ad dan Qiyas. Dalam menggunakan khabar ah}ad ini Malik bin Ana>s tidak selalu konsisten. Terkadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ah}ad. Kalau khabar ah}ad itu tidak dikenal atau tidak populer di kalangan masyarakat Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ah}ad tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah saw.
g.      Istihsa>n, Istihsa>n menurut madhhab Maliki> bukan berarti meninggalkan dalil dan menetapkan hukum atas dasar ra’yu   semata, melainkan berpindah dari satu dalil ke dalil lain yang lebih kuat yang kandungannya berbeda dari dalil yang ditinggalkan tersebut. Dalil yang kedua dapat berwujud ijma’ atau ‘urf atau mas}lahah mursalah, atau qaidah raf’u al-haraj wa al-mashaqqah (menghindarkan kesempitan dan kesulitan yang telah diakui shari’at akan kebenarannya).[76]
h.      Al-Mas}lahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang tidak memiliki dalil tertentu, baik yang mengakui atau yang menolaknya. Kebenaran mas}lahah diketahui dari penelitian induktif sejumlah dalil bahwa apa yang dianggap mas}lahah memang sejalan dengan tujuan shariat dalam rangka memelihara tujuan pokoknya, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dengan demikian maka mas}lahah mursalah itu kembali kepada memelihara tujuan shari’at diturunkan.[77]
i.        Sadd al-dhara’i, yaitu sarana yang membawa kepada hal yang diharamkan maka akan menjadi haram pula, sarana yang membawa kepada hal yang dihalalkan maka akan menjadi halal juga, dan sarana yang membawa pada kerusakan maka diharamkan juga.[78]
j.        Istishab, adalah tetapnya suatu ketentuan hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
k.      Shar’u Man Qablana Shar’un Lana>. Mengenai qaidah ini ada yang berpendapat bahwa Malik bin Ana>s tidak menggunakannya sebagai dasar hukum.[79]
5.      Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Malik bin Ana>s dalam Menetapkan Hukum Islam
Pemikiran Malik bin Ana>s di bidang hukum Islam/ fikih sangat dipengaruhi lingkungannya. Madinah sebagai pusat timbulnya sunah Rasulullah saw. dan sunah s}ah}a>bat merupakan lingkungan kehidupannya sejak lahir sampai wafatnya. Oleh sebab itu, pemikiran hukumnya banyak berpegang pada sunah.[80]
Dalam menelusuri pemikiran Maliki>, pertama-tama kita akan menemui nama-nama ahli hukum seperti ‘Umar, ‘A>ishah, Zaid bin Thabit, ‘Abdulla>h bin Umar dan ‘Abdulla>h bin Abbas. Pengetahuan hukum Islam yang s}ah}a>bat-s}ah}a>bat Nabi ini disebarkan kepada tujuh ahli hukum Madinah.[81] Mereka dikenal dengan sebutan fuqaha’ sab’ah. Mereka adalah Sa’id bin Musayyab, Umar bin Zubair, Qasim bin Muh}ammad bin Abu Bakar as-Siddiq, Kharijah bin Zaid bin Thabit, Abu Bakar bin Abdurrah}man, Sulaiman bin Yasar, dan Ubaidillah bin ‘Abdulla>h.[82] Dari tujuh ahli hukum ini, pengetahuan hukum Islam dibawa kepada Ibnu Sab, Nafi, Abu Zinad, Yahya bin Sayid dan Rabi’ah bin ‘Ali, kemudian ke Ima>m  Malik.[83]
6.      Karya-Karya Malik bin Ana>s
Pendapat Malik bin Ana>s dapat sampai kepada kita melalui dua buah kitab, yaitu al-muwat}t}a’ dan al-Mudawwamah al-Kubra. Al-muwat}t}a’ (dinamakan juga al-Muyassar[84]) berarti kemudahan atau kesederhanaan[85], karena memang dimaksudkan untuk memudahkan dan menyederhanakan kajian h}adi>th dan fikih. Karya ini merupakan upaya pertamanya untuk mengkodifikasi hukum Islam dan menjadi dasar bagi madhhab Maliki>. Kitab ini adalah kitab h}adi>th sekaligus kitab fikih karena berisi h}adi>th yang disusun sesuai klasifikasi fikih dengan memperinci kaidah fikih yang diambil dari h}adi>th dan fatwa s}ah}a>bat. Lebih jelasnya merupakan kitab h}adi>th yang dihimpun dalam tema fikih.[86] Dikatakan bahwa h}adi>th yang terdapat dalam al-muwat}t}a’ ini tidak seluruhnya musnad karena di samping h}adi>th, di dalamnya terdapat fatwa para s}ah}a>bat dan tabi’i>n.[87]
Penulisan kitab al-Muwat}a’  memakan waktu 11 tahun, dari tahun 148 H sampai 159 H.[88] Kitab ini mulai ditulis Malik bin Ana>s pada masa khalifah al-Manshur dan selesai pada masa khalifah al-Mahdi. Khalifah Harun ar-Rashid berusaha menjadikan kitab ini kitab hukum yang berlaku untuk umum pada masanya, tetapi Malik bin Ana>s tidak menyetujuinya.[89]
Kitab lainnya, yaitu al-Mudawwamah al-Kubra, merupakan kumpulan risalah yang memuat tidak kurang dari 1.036 masalah dari fatwa Malik bin Ana>s yang dikumpulkan oleh Asad bin Furat an-Naisabury. Sebagian ulama berpendapat bahwa al-Mudawwamah merupakan kitab yang disusun oleh Abdus Salam bin Sa’id at-Tamukhi[90] yang lebih dikenal dengan nama Sahnun. Namun yang sebenarnya adalah Sahnun menerima al-Mudawwamah dari Asad bin Furat dalam keadaan belum tersusun dengan baik dan belum diberi bab. Kemudian Sahnun-lah yang menyusun dan memberikan bab-bab dalam kitab tersebut.[91]
7.      Guru dan Murid Malik bin Ana>s
Guru yang sekaligus menjadi sumber penerimaan h}adi>th Malik bin Ana>s adalah Nafi’ bin Abi Nu’aim, Ibnu Shihab az-Zuhri, Abul Zinad, Hashim bin Urwa, Rabi’ah bin Abdurrah}man, dan Muh}ammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdurrah}man bin Hurmuz, seorang tabi’i>n ahli h}adi>th, fikih, fatwa, dan ilmu berdebat.[92]
Adapun muridnya yang terkenal antara lain ash-Shaibani, tokoh madhhab H}anafi terkenal di Irak, dan Ima>m  Shafi’i, pendiri madhhab Shafi’i.[93] Selain itu, ada Yahya bin Yahya al-Andalusi, Abdurrah}man bin Kasim di Mesir, As’ad al-Furat at-Tunisi,[94] dan Abu> Muh}ammad ‘Abdulla>h  bin Wahab bin Muslim.[95]
8.      Penyebaran dan Perkembangan Madhhab Maliki>
Madhhab Maliki> dikenal sangat berpegang teguh pada h}adi>th dan tradisi yang ada di Madinah. Oleh karena itu, madhhab Maliki> termasuk aliran fikih ahlul h}adi>th. Tetapi, di samping konsisten memegang teguh h}adi>th, madhhab ini juga dikenal sangat mengedepankan aspek kemaslahatan dalam menetapkan hukum. Bahkan konsep maslahat pertama kali diperkenalkan oleh Ima>m  Malik bin Ana>s.[96] Madhhab Maliki> timbul dan berkembang di kota Madinah, kemudian tersiar ke negeri Hijaz. Filsuf Ibnu Rushd termasuk pengikut madhhab Maliki>.[97]
Madhhab Maliki> tersebar luas berkat peranan murid Ima>m  Malik. Banyak umat Islam dari berbagai penjuru berkunjung kepadanya. Di samping datang untuk berziarah ke makam Nabi saw., mereka juga menyempatkan diri menimba ilmu dari Ima>m  Malik. Hal itu menyebabkan murid Ima>m  Malik tersebar di berbagai negeri dan melalui merekalah madhhab Maliki> tersebar. Madhhab Maliki> pernah menjadi madhhab utama di Mekah, Madinah, Bas}rah, Irak, Mesir, Aljazair, Tunisia, Andalusia, Maroko, dan Sudan. Kecuali di tiga daerah yang disebut terakhir, kini jumlah pengikut madhhab Maliki> mengalami penyusutan. Mayoritas penduduk Mekah dan Madinah saat ini mengikuti madhhab Hanbali. Di Iran dan Mesir, jumlah pengikut madhhab Maliki> juga tidak banyak. Maroko adalah satu-satunya negara yang secara resmi menganut madhhab Maliki>.[98] Madhhab ini tersebar di pantai timur semenanjung Arabia, Mesir, Maghribi, dan Mauritania.[99]
D.    Kesimpulan
Madhhab fikih adalah aliran pemikiran tentang hukum Islam yang penetapannya merujuk kepada Al-Qur’a>n dan sunah Nabi saw. Madhhab yang dapat bertahan dan berkembang terus sampai sekarang serta banyak diikuti oleh umat Islam di seluruh dunia, ada empat madhhab yaitu madhhab H}anafi, madhhab Maliki>, madhhab Shafi’i, dan madhhab Hanbali. Mereka dikenal sebagai ima>m  madhhab fikih atau Ima>m  Madhhab Empat (al-Madha>hib al-Arba’ah). Keempat madhhab tersebut memiliki corak pemikiran hukum dan dasar pemikiran hukum yang berbeda. Hal ini karena lingkungan tempat mereka dibesarkan dan menuntut ilmu tidak sama.
Abu> H}ani>fah lebih banyak memakai argumentasi akal daripada ulama lainnya sehingga ia digelari Ima>m  Ahlurra’yi. Bahkan ia lebih mengutamakan ra’yi dari khabar ah}ad. Ia adalah pelopor qiyas sebagai faktor penting dalam membangun hukum Islam dan ijma’ dari umat sebagai sumber hukum Islam. Sebagai seseorang yang pernah mengembara, pengalamannya itu sangat mempengaruhi corak fikihnya yang lebih menekankan aspek muamalah.
Sedangkan Malik bin Ana>s, sejak lahir hingga wafatnya ia berada di Madinah. Madinah ketika itu merupakan pusat perkembangan sunah/h}adi>th Rasulullah saw. Ia menjadi salah seorang periwayat (ra>wi) h}adi>th yang masyhur. Sehingga ia termasuk ima>m  madhhab fikih yang beraliran ahl al-H}adi>th.



[1] Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab (Jakarta: Logos, 1999), 72.
[2] Taufik Abdullah, “Mazhab Fikih”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam; Faktaneka dan Indeks, Vol. 7, ed. Taufik Abdullah, et al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), 22.
[3] Seperti dikemukakan Abu Sulaiman, guru besar usul fikih Universitas Umm al-Qura Mekah, ada dua aliran fikih yaitu aliran ra’yu di Irak dan aliran h}adi>th di Hijaz. Imam Malik terkenal sebagai tokoh utama dalam memperkukuh dan mengembangkan fikih aliran h}adi>th di Madinah, dan posisi yang sama dalam aliran ra’yu dipegang oleh Imam Abu> h}ani>fah di Irak.
[4] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 72.
[5] Ibid., 72-74.
[6] Abdullah, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 22.
[7] Ibid., 22.
[8] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 95.
[9] Musdah Mulia, “Imam Hanafi”, Ensiklopedi Islam, Vol. 2, ed. Nina M. Armando, et al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 297.
[10] Ahmad Abdul Aziz, “Abu Hanifah”, Ensiklopedia Islam, ed. Rina, et al. (Jakarta: Prestasi Pustakaraya, 2006), 38.
[11] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 297.
[12] Ibid.
[13] Sulaiman Fayad, Aimmah al-Islam al-Arbi’ah (t.t.: t.p., t.th.), 12.
[14] Fayad, Aimmah al-Islam al-Arbi’ah, 14. Lihat juga Abdurrah}man ash-Sharqawi, Aimmah al-Fiqhu at-Tis’ah (t.t.: t.p., t.th.), 52.
[15] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 297.
[16] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 96-97.
[17] Abdul Aziz Dahlan, “Mazhab Hanafi”, Ensiklopedi Hukum Islam, ed. Abdul Aziz Dahlan, et al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003), 511.
[18] Abdul Mun’im al-Hafni, Ensiklopedia; Golongan, Kelompok, Aliran, Mazhab, Partai, dan Gerakan Islam, Terj. Muhtarom (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2006), 461.
[19] Djohan Effendi, Konsep-konsep Teologis, dalam Budhy Munawar-Rachman (ed.), Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 1995), 52. Lihat juga Nurcholish Madjid, Islam; Doktrin dan Peradaban, (Jakarta: Paramadina, 1992), 201.
[20] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298.
[21] Ibid.
[22] al-Hafni, Ensiklopedia; Golongan, Kelompok, 461.
[23] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298.
[24] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 98.
[25] M.Atiqul Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, terj. Ira Puspitorini (Jogjakarta: Diglossia, 2007), 3.
[26] Ade Armando dkk., “Mazhab Hanafi”, Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, Vol. 4, ed. J.V. Barus, et al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001), 83.
[27] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 512.
[28] Ahmad ash-Sharbasi, al-Aimmah al-Arbi’ah (t.t.: Darul Halal, t.th.), 32.
[29] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 12.
[30] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298.
[31] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 13.
[32] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298.
[33] Ibid.
[34] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 512.
[35] Ibid.
[36] Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, 6.
[37] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 98.
[38] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 84.
[39] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 511.
[40] Ibid.
[41] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 99-100.
[42] Ibid., 101.
[43] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298-299.
[44] Ibid., 299.
[45] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 14.
[46] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 83.
[47] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298.
[48] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 84.
[49] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 97.
[50] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 298.
[51] al-Hafni, Ensiklopedia; Golongan, Kelompok, 461.
[52] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 299.
[53] Ibid., 300.
[54] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 84.
[55] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 2, 300.
[56] Suwito, “Imam Malik”, Ensiklopedi Islam, Vol. 4, ed. Nina M. Armando, et al. (Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), 253.
[57] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1092.
[58] Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, 40. Lihat juga ash-Sharbasi, al-Aimmah al-Arbi’ah, 117.
[59] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 102-103.
[60] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 253. Lihat juga ash-Sharqawi, Aimmah al-Fiqhu at-Tis’ah, 76.
[61] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 103.
[62] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 255.
[63] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 15.
[64] Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, 40.
[65] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 255.
[66] Ibid.
[67] Ibid., 253.
[68] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 105.
[69] Ibid., 106.
[70] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 255.
[71] Ibid., 253.
[72] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 107.
[73] Ibid., 115.
[74] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 15.
[75] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1095.
[76] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 108-110.
[77] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1093.
[78] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 255.
[79] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 112-113.
[80] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 254.
[81] Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, 39.
[82] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 15.
[83] Haque, Seratus Pahlawan Muslim yang Mengubah Dunia, 39.
[84] al-Hafni, Ensiklopedia; Golongan, Kelompok, 769.
[85] ash-Sharbasi, al-Aimmah al-Arbi’ah, 92.
[86] Fayad, Aimmah al-Islam al-Arbi’ah, 12.
[87] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 254.
[88] al-Hafni, Ensiklopedia; Golongan, Kelompok, 769.
[89] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 254.
[90] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1094.
[91] Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab, 119.
[92] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 254.
[93] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1092.
[94] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 254.
[95] Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, 1096.
[96]Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 15.
[97] Armando, Ensiklopedi Islam Jilid 4, 254.
[98] Ade Armando dkk., Ensiklopedi Islam untuk Pelajar, 16.
[99] Aziz, Ensiklopedia Islam, 233.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar