KARYA AL-ZAMAKHSHARI
A.
Pendahuluan
Al-Qur’an adalah wahyu Allah swt. yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
saw. dan harus diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari oleh pemeluknya.
Para ulama berlomba-lomba untuk memahami dan menafsirkan wahyu Allah tersebut. Sebagai sebuah proses budaya, penafsiran al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh ruang waktu, sehingga sangatlah wajar jika dalam penafsirannya melahirkan keragaman. Justru, orang yang betul-betul faqîh adalah orang yang dapat melihat sisi-sisi (makna) yang banyak dari al-Qur’an. Karenanya, pemutlakan satu bentuk penafsiran akan selalu merupakan “pemaksaan” terhadap hakikat kewahyuan al-Qur’an yang mem-budaya dalam kehidupan manusia yang senantiasa membudaya dalam ruang waktu yang selalu berubah.
Para ulama berlomba-lomba untuk memahami dan menafsirkan wahyu Allah tersebut. Sebagai sebuah proses budaya, penafsiran al-Qur’an sangat dipengaruhi oleh ruang waktu, sehingga sangatlah wajar jika dalam penafsirannya melahirkan keragaman. Justru, orang yang betul-betul faqîh adalah orang yang dapat melihat sisi-sisi (makna) yang banyak dari al-Qur’an. Karenanya, pemutlakan satu bentuk penafsiran akan selalu merupakan “pemaksaan” terhadap hakikat kewahyuan al-Qur’an yang mem-budaya dalam kehidupan manusia yang senantiasa membudaya dalam ruang waktu yang selalu berubah.
Pemutlakan satu bentuk penafsiran biasanya terjadi akibat adanya
tarikan kepentingan, terutama yang berkaitan dengan kekuasaan. Inilah yang
biasanya terjadi pada tafsir-tafsir madhhabi.[1] Sebagai
karya dari seorang ulama, al-Zamakhsha>ri>, yang secara eksplisit menyatakan dirinya pendukung ahl al-’adl wa
al-tawhîd (Mu’tazilah), tafsir al-Kashsha>f
tampaknya mengalami hal seperti itu.
B.
Biografi
al-Zamakhsha>ri> dan Latar Belakang Penulisan Tafsirnya
Nama lengkap al-Zamakhsha>ri> adalah Abû al-Qâsim Jârullâh Mahmud bin `Umar al-Zamakhsha>ri> al-Kahawârizmî. Ia lahir di Khawarizm, yang sekarang masuk dalam
negara Uzbekistan bagian dari Uni Soviet, pada tahun (467-538 H/ 1075-1145 M) pada
masa kejayaan Dinasti Saljuk-Irak (di bawah Sultan Mâlik Syâh [1070-1092] dan
Wazir Nizhâm al-Mulk) hingga awal kemundurannya (di bawah Sinjar bin Mâlik Syâh
[1117-1157]).[2]
Al-Zamakhsha>ri> untuk
pertama kalinya menuntut ilmu ke
Bukhara yang saat itu merupakan pusat pengetahuan dan terkenal dengan
sastrawan. Kemudian ia belajar kepada Muhammad bin Jarîr al-Dhabî
al-As}fahânî Abû
Mudhar al-Nahwî (w. 507), seorang Ahli bahasa dan nahwu terkenal di zamannya,
yang berbudi luhur dan berhasil menyebarkan madhhab
Mu’tazilah di
Khawarizm.[3] Dengan bekal
ambisi, ia pergi ke Khurâsan dan Isfahân. Ia mendekati para pemegang kekuasaan
seperti Mujî al-Daulah `Ubaidillâh bin Nizhâm al-Mulk, dan Muhammad bin Mâlik
Syâh dengan memberikan bait-bait syair pujian. Namun, ia gagal dan sekitar
tahun 512 ia sakit parah. Sejak itu ia berganti haluan ke bidang keilmuan. Ia pergi ke Baghdad,
belajar haditn kepada Abû al-Khitâb bin al-Bathar, Abû Sa`d
al-Syafânî, dan Syaikh Islam Abû Mânshur al-Hâritsî, belajar Fiqh kepada
al-Damghânî (Hanafi) dan Ibn al-Syajarî. Untuk menghilangkan rasa bersalahnya
karena berambisi mengejar kekuasaan, ia pergi ke Makkah dan bertemu dengan
seorang pemuka `Alawî bin Îsâ bin Hamzah bin Wahhâs, dan membaca kitab Sîbawaih
atas bimbingan `Abdullâh bin Thalhah al-Yâbirî (w.518).
Setelah usahanya kembali untuk medekati penguasa gagal, al-Zamakhsha>ri> kembali ke daerahnya. Saat itu Muhammad
Anushtikin yang digelari Khawârizm Syâh (mantan kepala daerah Khawârizm, w.
521) telah mendirikan rumah raja (Sultan Sinjar) yang kemudian mengukuhkannya
sebagai kepala daerah Kwarizm hingga meninggal dan digantikan anaknya Atsaz (w.
551). Kecintaan keduanya kepada ilmu membuat al-Zamakhsha>ri> dapat berada di dekatnya, sehingga mempunyai kesempatan besar untuk
menulis dan menerbitkan karya-karyanya.[4] Karya-karyanya
itu kebanyakan dalam bidang bahasa,
sastra, dan gramatika.[5]
Kepakarannya dalam bahasa, sastra, dan gramatika (di samping ilmu
lain), membuat ia menjadi rujukan rekan-rekan semadhhabnya (afâdhil al-nâjiyah al-`adhiyyah), terutama dalam
penerapannya terhadap penafsiran
al-Qur’an. Mereka sering dibuat kagum dengan pelajaran al-Zamakhsha>ri> sehingga sepakat mengusulkan agar ia mendiktekan al-Kashsha>f `an Haqa>‘iq al-Tanzi>l wa `Uyu>n
al-Aqa>wi>l fi> Wuju>h al-Ta’wi>l. Akan
tetapi, hal ini hanya berlangsung hingga penafsiran surat al-Baqarah, karena
saat itu ia berkeinginan untuk mengunjungi Baitullah. Di perjalanan, ia mendapatkan banyak
orang yang sangat menginginkan tafsiran-tafsirannya sehingga ia menyelesaikan
tafsirnya di Baitullah.[6]
C.
Madhhab
Fiqih dan Akidah al-Zamakhsha>ri>
Di dalam masalah fiqih, al-Zamakhsha>ri> bermadhhab
Hanafî, sedangkan
dalam masalah teologi dia berpaham Mu`tazilah. Ia menta`wilkan ayat-ayat al-Qur’a>n sesuai dengan madhhab dan akidahnya, dengan cara yang hanya
diketahui oleh orang yang ahli dan menamakan kaum Mu`tazilah sebagai “Saudara
seagama dan golongan utama yang selamat dan adil”.[7] Ditinjau
dari visi agama, kefanatikan al-Zamakhsha>ri> terhadap madhhabnya belum
sampai pada tahap penyimpangan, karena ia masih berpegang teguh pada sumber
ajaran Islam yaitu al-Qur’a>n dan Hadith, bahkan
tafsir al-Kashsha>f sangat berjasa dalam mengangkat nilai-nilai rasionalitas al-Qur`a>n.[8]
D.
Karakteristik
Tafsir al-Kashsha>f
Tafsir al-Kashsha>f ini memiliki keistimewaan yang sekaligus membedakannya dari mufasir
sebelum, sezaman, dan sesudahnya. Keistimewaan tersebut berkaitan dengan
paparannya tentang rahasia-rahasia balaghah yang terkandung di dalam
al-Qur’an. Kitab tafsirnya ini mempunyai kelebihan yang sulit ditandingi oleh
tafsir-tafsir lain. Meskipun al-Zamakhsha>ri> termasuk tokoh Mu’tazilah yang
gigih membela madhhabnya dan
mengecam ulama-ulama Ahlussunnah, tetapi
ulama-ulama Ahlussunnah disadari atau tidak banyak mengambil manfaat dari ilmu al-Zamakhsha>ri> dan mengikuti cara-cara yang ditempuhnya.[9]
Karyanya dalam bidang tafsir yang diberi nama “al-Kashsha>f” disusun atas permintaan sahabat-sahabatnya, sebagaimana ungkapannya dalam
mukaddimah tafsirnya:
“Sungguh telah datang kepadaku sahabat-sahabatku dari golongan
orang-orang yang mulia, selamat dan adil. Mereka menguasai ilmu bahasa Arab dan
Tauhid. Sewaktu mereka datang kepadaku untuk menafsirkan suatu ayat. Aku
menjelaskan kandungan-kandunan ayat tersebut yang masih ghaib/ tertutup, dan
mereka pun menyatakan kekagumannya atas diriku. Saat itu pula mereka meminta
aku membuat suatu karya yang berisi pokok-pokok penjelasan al-Qur`a>n, serta
mengajarkannya kepada mereka “sekumpulan tentang hakikat-hakikat turunnya al-Qur’a>n dan
pandangan-pandangan yang esensial dalam segi penta`wilan”. Pada mulanya aku
tidak bersedia, kemudian mereka tetap bersikeras meminta, bahkan mereka datang
kembali beserta tokoh-tokoh agama Ahl al-‘Adl wa al-Tauhîd. Dan inilah yang
mendorongku bersedia, karena aku sadar bahwa mereka meminta sesuatu yang
sesuatu itu wajib aku turuti, karena melibatkan diri pada sesuatu (yang mereka
minta) itu hukumnya fardhu ‘a’in. Dimana pada waktu itu situasi dan kondisi
(negeri) sedang kacau, dan lemahnya tokoh-tokoh ulama, serta jarangnya orang
yang menguasai bermacam-macam keilmuan, apalagi berbicara tentang penguasaan ilmu
Bayân dan ilmu Badi`.”[10]
Karena desakan sahabat-sahabatnya serta tokoh-tokoh Mu`tazilah,
akhirnya al-Zamakhsha>ri> memenuhi permintaan mereka. Kemudian ia mendiktekan masalah fawâtih
al-suwar dan beberapa pembicaraan tentang hakikat-hakikat surat al-Baqarah.
Di dalam penafsirannya itu, ia menempuh cara dialogis. Ia menulis tafsirnya
dalam bentuk yang ringkas.[11]
Menurut al-Juwainî, ada tiga alasan yang melatarbelakangi cara
penafsiran al-Zamakhsha>ri> yang lebih ringkas itu. Pertama, faktor usia. Masa itu ia telah
berumur 60 tahun lebih sehingga masalah fisik kurang menunjang untuk menulis
secara panjang lebar dan mendetail; Kedua, faktor waktu. Karena ia
bermaksud menafsirkan keseluruhan al-Qur`a>n, sehingga dengan cara ringkaslah hal itu bisa dilaksanakan; Ketiga,
faktor desakan para pemerhati tafsir. Karya tulisnya dalam bidang tafsir sudah
dinanti-nantikan oleh orang banyak.[12]
al-Zamakhsha>ri>
menyelesaikan penulisan tafsirnya dalam tempo lebih dari 30 bulan di Mekah, ketika ia
melakukan ibadah haji yang kedua kalinya. Kitab ini mulai ditulis pada tahun
526 H. Berdasarkan pernyataan tertulis dalam salah satu naskah disebutkan bahwa penulisan karya ini diselesaikan pada
pagi hari, Senin 23 Rabî`ul Akhîr 528 H.[13]
Dalam hal ini, ia mengatakan dalam
mukaddimahnya bahwa lama penyusunan kitabnya sama dengan
lama masa pemerintahan Abu Bakar As-Shiddiq.
Tafsir al-Kashsha>f
disusun dengan tertib mus}hafi yaitu berdasarkan urutan surat dan ayat dalam mus}haf
‘Uthmani>. Sedangkan metode yang digunakan dalam al-Kashsha>f, menurut al-Farmâwî, adalah metode tahlilî.
Hal ini terlihat dari langkah-langkah al-Zamakhsha>ri> dalam menafsirkan al-Qur`a>n. Ketika
menafsirkan al-Qur’an, ia berusaha mengungkapkan seluruh pengertian yang dimaksud
hingga sampai pada yang ditujunya, dengan dukungan berbagai ilmu pengetahuan,
seperti pengertian tentang nash al-Qur`a>n, Hadith, riwayat
sahabat, dan tabi`in, pengetahuan tentang nasikh mansukh, ilmu qira`at,
cerita Israiliyyat, ilmu Ushul Fiqih, ilmu Balaghah serta rahasianya,
ilmu bahasa dan sastra Arab, juga ilmu Kalam (teologi).
Aspek lain yang dapat dilihat, penafsiran al-Kashsha>f
juga menggunakan metode dialog, di mana ketika al-Zamakhsha>ri> ingin menjelaskan makna satu kata, kalimat,
atau kandungan satu ayat, ia selalu menggunakan kata in qulta (jika
engkau bertanya). Kemudian, ia
menjelaskan makna kata atau frase itu dengan ungkapan qultu (saya
menjawab). Kata ini selalu digunakan seakan-akan ia berhadapan dan berdialog
dengan seseorang atau dengan kata lain penafsirannya merupakan jawaban atas
pertanyaan yang dikemukakan.
Basuni Faudah mengkatagorikan tafsir al-Kashsha>f
ini ke dalam corak tafsir bi al-ra`y. Hal ini didasarkan
pada alasan bahwa tafsirnya merupakan tafsir ayat-ayat al-Qur’a>n
yang didasarkan pada ijtihad mufasirnya, dan menjadikan
akal fikiran sebagai pendekatan utamanya.[14]
Kemudian Kamil Y. Advich membenarkan bahwa kitab tafsir al-Kashsha>f merupakan kitab
tafsir yang mewakili tafsir bi al-ra`y.[15]
Adapun konsep Penafsiran al-Zamakhsha>ri>, ia menafsirkan ayat-ayat
al-Qur’a>n berdasarkan
ajaran-ajaran Mu`tazilah, terutama yang berkenaan dengan lima prinsip, yaitu
tauhid, keadilan, janji dan ancaman, tempat di antara dua tempat, dan amar
ma’ruf nahi munkar.[16]
Prinsip-prinsip al-Zamakhsha>ri> dalam menafsirkan al-Qur’a>n dapat dikemukakan sebagai berikut:[17]
-
Mendahulukan dan
menguasakan akal
-
Mendahulukan dan
menerapkan prinsip-prinsip Mu`tazilah
-
Terkadang al-Zamakhsha>ri> menjadi mufasir naql. Seperti
ketika menafsirkan surat al-Baqarah ayat 26. Ia menggunakan periwayatan. Selain
itu terkadang ia menggunakan lafazh rawâ ketika hendak menjelaskan asbâb
al-nuzûl
-
Menggunakan
prinsip-prinsip kebahasaan
-
Menggunakan
kaidah-kaidah bahasa Arab
-
Menggunakan qira`at-qira`at
dalam penafsiran
-
Menafsirkan ayat-ayat
ahkam dengan pandangan madhhab Mu`tazilah
-
Mengungkapkan
nilai-nilai sastranya, dan
-
Memandang al-Qur’a>n dapat dijadikan pedoman
pendidikan rohani.
Tafsir al-Kashsha>f
memiliki dua karakteristik dominan, yakni
1.
Kental dengan
Paham Mu’tazilah
2.
Penuh dengan
analisa bahasa, sastra, dan gramatika
-
Tafsir: tafsir Mujâhid (w. 103/104), tafsir
yang ditulis `Amr bin `Ubaid al-Mu’tazilî (w. 144), tafsir yang ditulis oleh
Abû Bakr al-Ashamm al-Mu’tazilî (w. 235), tafsîr al-Zujâj (w. 311), dan tafsîr al-Rummânî
(w. 384).
-
Hadith: Shahîh Muslim dan lain-lain.
-
Qirâ’at: mushaf
`Abdullâh bin Mas`ûd, mushaf al-Harts bin Suwaid, mushaf Ubai bin Ka`ab,
mushaf-mushaf Hijâz dan Syâm.
-
Bahasa dan
Nahwu: kitab Sibawaih, Ishlâh al-Manthiq (ibn Sikît, w. 244), al-Kâmil
(Mubarrad, w. 285), al-Mutammim fî al-Khath (`Abdullâh bin Dursitawaih,
w. 347), al-Hujjah dan al-Jalabiyyat (Abû Ali al-Farisi, w. 377),
al-Tamâm dan al-Muhtasib (Ibn Jinni w. 393), al-Tibyân
(Abû al-Fath al-Hamdânî).
-
Sastra: al-Hayawân
(al-Jâhizh), Hamasah (Abû Tamâm), Istaghfir wa istaghfir (Abû
al-Ulan al-Ma`arî), Nawâbigh al-Kalim, al-Nashâ‘ih al-Shighâr dan
Syâfi al-’Ay min Kalâm al-Syâfi’î.
-
Nasihat dan
cerita: Beberapa buku nasihat dan tasawuf seperti Syahr bin Hausyab,
Rabî`ah, Thâwus, Mâlik bin Dînâr.
Tafsir al-Kashsha>f yang beredar sekarang ini terdiri atas empat jilid disertai dengan
tambahan tahqiq oleh ulama. Jilid pertama mencakup uraian mengenai
muqaddimah yang oleh al-Zamakhsha>ri disebut sebagai khutbah al-Kitab yang berisi beberapa penjelasan
penting tentang penyusunan kitab tafsir ini. Selain itu, juga memuat tafsir
mulai dari tafsir surah al-Fa>tih}ah sampai surah an-Nisa>
(surah kelima). Jilid kedua berisi penafsiran surah al-An’a>m
sampai surah al-Anbiya> (surah ke-21), jilid ketiga berisi penafsiran
surah al-H}ajj sampai surah al-H}ujura>t
(surah ke-49), dan jilid keempat berisi penafsiran surah Qa>f
sampai surah an-Na>s (surah ke-114).
E.
Penutup
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kitab tafsir al-Kashsha>f karya al-Zamakhsha>ri> menggunakan metode penyusunan tahlîly
dan juga metode dialog, disusun dengan tertib mus}hafi, dengan corak
tafsir bi al-ra`y, dengan pendekatan bahasa dan memberikan keleluasaan
kepada akal untuk memahami dan manafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Sebagai
penganut faham Mu’tazilah, penafsiran al-Zamakhsha>ri> terhadap al-Qur’an juga terpengaruh oleh doktrin Mu’tazilah mengenai ushûl
al-khamsah.
Secara umum, para ulama sepakat menilai bahwa al-Kashsha>f
adalah satu kitab tafsir yang memiliki keunggulan
tersendiri di bidang kebahasaan, terutama yang berkaitan dengan aspek-aspek balaghah
dan analisisnya tentang kemu’jizatan al-Qur’an. Uraiannya yang sangat dalam dan luas mengenai aspek kebahasaan ini telah
mengantar al-Zamakhsha>ri> ke puncak kemashhuran dan
kehebatan. Akan tetapi jika dilihat, terutama yang menyangkut sebagian dari
substansi penafsirannya yang menonjolkan prinsip-prinsip muktazilah, para ulama
menilainya negatif. Tafsir al-Kashsha>f dinilai sebagai
tafsir yang menyimpang dari maksud-maksud kandungan al-Qur’an.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar